Sabtu, 30 April 2016

PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA (BAB I)

            Kebetulan Blog ini masih aktif, dan sangat sayang rasanya kalau dibiarkan kosong, oleh sebab itulah sengaja saya publikasikan bahan bacaan BAB I dari skripsi yang berjudul “PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA” ini, dan sedikitnya tulisan ini sudah saya rubah dari bentuk aslinya. Adapun bagian BAB II dan BAB III-nya bisa agan lihat dengan mengklik >>Posting Lama<< yang ada dibawah kanan pos komentar. Akhir kata dari saya; "selamat membaca dan semoga tulisan ini bermanfaat".
BAB I
PENDAHULUAN

A.               LATAR BELAKANG
            Tan Malaka merupakan tokoh bangsa Indonesia yang fenomenal dan kontroversial. Nama asli; Sutan Ibrahim, gelar; Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang, Kecamatan Suliki, Kabupaten 50 kota, Payakumbuh, pada tahun 1897.[1] Meskipun telah meninggal (1949), nama Tan Malaka tetap hidup, bahkan semakin dikenal di Eropa.[2] Namun, ia terasingkan dari rekaman sejarah bangsanya sendiri, berbagai sudut pandang dan kontraversi menjadi polemik berkepanjangan dalam wacana-wacana perjuangannya bagi Republik Indonesia. Nama dan perannya pernah dihilangkan dari catatan sejarah perjuangan kemerdekaan, ketika bangsa ini setengah hati dalam rekonsiliasi sejarahnya dan mencoba menghapus sumbangan tak terkira dari arus sosialisme dan perjuangan kaum marxis dalam beberapa dekade.[3]
            Sebagai tokoh yang diberi label komunis, Tan Malaka dianggap berbahaya bagi pemerintahan Hindia-Belanda, Fasis Jepang, bahkan setelah wafatnya (1949); terutama di masa Rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), karya-karya Tan Malaka dipetikan, karena dimasa tersebut hal-hal yang berbau komunis menjadi haram untuk dijamah.[4] Perlu kita ketahui bahwa dalam sejarah berdirinya Rezim Orde Baru, Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Sukarno. Soeharto melambungkan diri ke kursi kepresidenan dengan mengambil alih kekuasaan negara secara bertahap yang disebut dengan kudeta merangkak. Kudeta merangkak tersebut dilakukan Soeharto di balik selubung usaha untuk mencegah kudeta dan kesetiaannya pada Soekarno, yang akhirnya bermuara pada pembunuhan massal terhadap orang-orang komunis dan tiga puluh dua tahun kediktatoran Rezimnya.[5]
            Di bawah kepemimpinan Suharto, antikomunisme menjadi agama negara, lengkap dengan segala situs, upacara, dan tanggal-tanggal yang sakral. Komunisme digambarkan sebagai kekuatan jahat tak terperikan. Melalui perang urat syaraf, kebencian terhadap komunisme terus-menerus ditanamkan diruang pikiran masyarakat Indonesia dengan menggunakan semua alat propaganda negara seperti buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional. Stigma yang dimunculkan adalah semenjak kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya, komunisme bersifat antinasional, antiagama, agresif, haus darah, dan sadis. Tidak ada penjelasan dalam penulisan sejarah tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan pribadi dan kapitalisme, tidak ada sejarah yang menjelaskan sumbangan orang-orang komunis dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda, atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani secara damai. Berbagai adegan-adegan cerita mengenai kekerasan yang dilakukan orang-orang komunis sengaja direkayasa untuk meyakinkan masyarakat tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap komunisme di tengah kehidupan berbangsa.[6] Maka, tidaklah mengherankan jika setelah reformasi (1998) hingga saat sekarang ini, stigma mengenai komunis tersebut masih diterima dibawah alam sadar pikiran masyarakat Indonesia sebagai fakta nyata dan tak urung dalam wacana-wacana mengenai tokoh beraliran kiri (seperti Tan Malaka salah satunya) selalu diwarnai berbagai polemik kontraversi. Sungguh sangat disayangkan, bangsa besar ini melupakan sumbangan besar pejuang terdahulu karena kuatnya stigma yang sengaja direkayasa untuk kepentingan politik penguasa Rezim yang telah berlalu.
            Berbicara mengenai Tan Malaka, berarti kita membicarakan tokoh legendaris lintas benua. Ia berjuang dalam pengembaraan selama 20 tahun diburu polisi rahasia di 11 Negara dengan 23 nama samaran. Sepanjang hidupnya pernah dipenjarakan sebanyak 13 kali, yakni di Filipina (1937), Hongkong (1932), dan 11 penjara di Jawa (antara tahun 1922, 1946-1948). Terhitung semenjak 29 Maret Tahun 1922, Tan Malaka meninggalkan Indonesia pada usia 25 tahun, dan Ia kembali pada tahun 1942 disaat Jepang menguasai Asia Tenggara. Hidup dibawah bayang-bayang penangkapan dan percobaan pembunuhan, namun selalu dapat meloloskan diri.[7] Perjuangannya melebihi Soekarno dan Hatta, namun ironisnya, setelah proklamasi 1945, Tan Malaka justru mendapat perlakuan lebih buruk di Tanah Air yang ia perjuangkan. Selama 2,5 tahun dipenjarakan tanpa peradilan dan kematiannyapun pernah menjadi misteri, dibunuh dan dihilangkan oleh bangsanya sendiri (1949). Melengkapi adagium tragedi, “revolusi memakan korban anaknya sendiri”.[8]
            Jabatan ketua PKI sempat ada ditangannya (1921-1922), bahkan ia pernah menjabat sebagai wakil Comintern Asia bagian Timur dan tenggara. Namun, bukan berarti ia komunis dalam pengertian umum yang biasa, ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menterjemahkan ajaran marxis.[9] Sikap oposisi Tan Malaka atas rencana pemberontakan PKI (1926) terhadap pemerintahan Hindia-Belanda berujung pada retaknya hubungan Tan Malaka dengan tokoh-tokoh komunis di Tanah Air sampai ke tingkat Comintern serta pendirian PARI pada tahun 1927, merupakan rangkaian peristiwa yang menunjukkan Tan Malaka sebagai tokoh yang mempertegas dan mengkongkritkan pandangan, pendirian dan sikapnya, secara ideologis, politis dan organisatoris.  
            Sangat disayangkan, ia terlupakan dalam rekaman sejarah bangsanya sendiri. Dialah Tan Malaka, tokoh pertama yang menggagas berdirinya republik Indonesia pada buku yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia”(1924)sebuah karya yang telah jauh mendahului pledoi Hatta: “Indonesia Vrije”(1928) dan juga Soekarno “Menuju Indonesia Merdeka (1933)”.[10] Dan pejuangan gerilya telah menjadikanya tokoh yang misterius, maka tidaklah mengherankan jika dimasa pergerakan dan revolusi kemerdekaan, rakyat Indonesia tidak mengenal sosok Tan Malaka, dibanding tokoh populer seperti SoekarnoHatta dan Sjahrir.[11] Sosoknya yang misterius dan memiliki gagasan besar tentang Republik Indonesia ini merupakan salah satu alasan kenapa penulis tertarik untuk meneliti pemikirannya.
            Walaupun secara fisik Tan Malaka tidak dikenal, akan tetapi melalui karya-karyanya ia banyak dikenal orang Indonesia. Ia telah menulis sedikitnya 26 pemikiran dalam bentuk brosur dan buku. Karya-karyanya menginspirasi luas dikalangan aktivis pergerakan luar negri dan Indonesia. Presiden Soekarno, sebelum bertemu dengan Tan Malaka, ia terlebih dahulu telah mengenal Tan Malaka melalui buku Massa Aktie (1926). Menurut Soekarno, Tan Malaka merupakan seorang pecinta tanah air dan bangsa yang sepenuh-penuhnya.[12] Berdasarkan banyaknya karya yang telah ditulis, Tan Malaka bukan saja seorang tokoh pejuang dan pemikir, tetapi juga penulis tangguh yang dimiliki bangsa ini.[13]
            Pemikiran Sejarah Tan Malaka pada penelitian ini, merupakan refleksi pemikiran Tan Malaka dari teori-teori yang sudah lama berkembang atau sebagai hasil evaluasi kritis Tan Malaka atas berbagai pemikiran, khususnya pemikiran Hegel, Marx dan Feuerbach. Bila kita telisik Madilog (1943), terlihat bahwa Tan Malaka lebih mendasarkan pemikiran sejarahnya pada pemikiran Karl Marx, yang tidak lain merupakan filsafat sejarah. Adapun penjelasan mengenai pemikiran filsafat sejarah; pada umumnya mengarah pada usaha memberi keterangan dan tafsiran luas mengenai perjalanan sejarah. Ia secara khusus berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa arti (makna dan tujuan) sejarah?” atau “hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Penyajiannya, memberikan laporan tentang masa lalu manusia yang memperlihatkan gejala bahwa masa lalu tersebut membentuk diri sesuai dengan kodrat dan prinsip-prinsip pokok tertentu yang dianggap sah secara universal dalam konsepsi yang mungkin dapat diterima secara intelektual ataupun moral mengenai perjalanan sejarah sebagai suatu keseluruhan. Para filsufnya berusaha melayani tuntutan bahwa tafsiran mereka memungkinkan kita untuk dapat meramalkan perkembangan masyarakat di masa depan.[14]
            Bagi Tan Malaka, sejarah bukanlah absolut ide Hegelisme, ataupun rohani gaib diluar Ilmu bukti dan peralaman. Sejarah merupakan proses perkembangan yang terjadi berdasarkan hukum dialektika-materialis. Secara teoritis, dialektika-materialisme Tan Malaka memposisikan matter atau benda nyata dan pergerakannya sebagai bentuk dasar dari sejarah. Makna sejarahnya lebih menekankan bahwa masa lalu merupakan realitas fakta yang rasional berupa pergerakan benda nyata yang meliputi perkembangan dan perubahan bentuk dan juga sifatnya, sedangkan mistik dan kegaiban dianggap tidak memiliki peran dalam perjalanan sejarah manusia. Dialektika-materialisme Tan Malaka memberi gambaran terjadinya alam semesta, dari penjelasan atom-atom ke alam raya dan tata surya, munculnya kehidupan, hingga zaman awal sejarah manusia dan perkembangannya.[15]
            Tan Malaka menjelaskan sejarah manusia sebagai perkembangan sistem kemasyarakatan yang pada hakikatnya mengalami perkembangan berkelanjutan, hingga membentuk suatu kronologis perjalanan menyejarah manusia yang terdiri dari level zaman kekuatan klas yang terus bergerak dan mengalami perubahan-perubahan bertahap menuju level zaman masyarakat idealnya. Pada karyanya, Pandangan Hidup, munculnya Zaman awal sejarah manusia dijelaskan Tan Malaka sebagai akibat adanya relasi dialektis antara alam dan manusia, alam memberi kontribusi tekanan pada manusia untuk membentuk dan mengembangkan suatu sistem kemasyarakatan guna keberlangsungan hidup mereka. Bentuk sistem kemasyarakatan pertama tersebutlah yang dianggap Tan Malaka sebagai Zaman awal Sejarah Manusia.[16]
            Tan Malaka menganggap sejarah digerakkan oleh banyak faktor penentu, baik faktor-faktor berupa matter (kebendaan) maupun faktor ide (pikiran). Dengan kata lain, tidak ada faktor determinisme tunggal atas perkembangan sejarah manusia. Tan Malaka memposisikan “Perhubungan Klas” dimasyarakat sebagai faktor matter yang menjadi dasar utama atas perkembangan sejarah manusia, dilengkapinya dengan sebuah thesis yang berbunyi; “Jumlah Perhubungan klas yang ada dimasyarakat menjadi susunan ekonomi, atas susunan ekonomi tersebutlah berdiri politik dan perundangan suatu Negara. Susunan Undang-undang dan Politik tersebut berpengaruh pasti pada cara pikir dan sudut pandang Manusia sebagai Masyarakat”.[17]
            Sejarah bukanlah perkembangan yang semau-maunya, sembarangan, kebetulan, tuval ataupun accident saja. Sejarah manusia digerakkan oleh pertarungan klas yang memajukan masyarakat dari suatu zaman sejarah, ke tingkat zaman yang lebih tinggi. Pertarungan klas di Zaman Masyarakat Feodalisme menggerakkan sejarah menuju Masyarakat Kapitalisme, pertarungan klas di Zaman Masyarakat Kapitalisme akan membentuk perkembangan sejarah menuju Masyarakat Sosialis dan seterusnya.[18] Dalam proses ini berlaku Thesis, anti-Thesis dan Synthesis; massa klas yang tertindas melakukan perombakan secara revolusioner sebagai anti-thesis dari sistem kekuatan kelas lama, menuju sistesisnya; zaman kekuatan kelas baru yang revolusioner.[19]
            Munculnya pertarungan klas disebabkan adanya faktor ketertindasan di masyarakat atau ketimpangan kelas yang kian hari-kian tajam,36 semakin besar ketertindasan disatu pihak klas, maka semakin besar pula revolusi yang akan timbul.37 Namun, disamping perhubungan klas dan faktor-faktor matter lainnya, Tan Malaka juga menekankan pentingnya keberadaan pikiran (faktor Ide) sebagai suatu reaksi yang sangat menentukan bagi perkembangan sejarah manusia. Terlihat pada karya-karyanya sering dijelaskan pentingnya “cara berpikir rasional”; logis, realistis dan fleksibel untuk kemajuan masyarakat.[20] Salah satunya dipaparkan Tan Malaka dengan thesis yang menyatakan; “pikiran, ide, atau paham manusia itu dibentuk oleh alam dan keadaan masyarakatnya, dan tidak hanya keadaan masyarakat saja yang membentuk pikiran atau ide itu, tetapi juga sebaliknya, kelak pikiran atau paham itu melantun membentuk masyarakat baru.”[21]
            Cara pikir rasional yang dimaksud Tan Malaka adalah materialisme-dialektis,[22] sebagai penetrasi ideologi yang difungsikan sebagai anti-thesis terhadap mistifikasi pikiran dan sifat feodal bangsa Indonesia, yaitu ketika sistem-sistem dalam kehidupan bernegara menjadi alat penindasan dan mistifikasi dari kepentingan klas penindas.[23] Dengan berpikir rasional muncul kesadaran klas dan kesadaran pikiran dari masyarakat tertindas untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sehingga mereka bergerak dalam suatu tindakan pembaharuan yang dapat merubah sejarah, yaitu revolusi massa yang terorganisir. Demikianlah sebagai lakon pertarungan klas, manusia menciptakan perubahan sejarahnya sendiri, yaitu manusia sebagai; massa klas revolusioner, bukan sebagai individu luar biasa seperti; raja, bangsawan, pahlawan ataupun panglima perang.
            Disetiap pertarungan klas dan perubahan zaman yang dicapainya, klas-klas dimasyarakat akan berubah dan bertukar, maka berubah dan bertukar pula bentuk pertentangannya, dengan begitu bertukar pula lakon pertarungan klasnya.[24] Namun, pada konteks ke-Indonesiaan, Tan Malaka menganggap perkembangan sejarah bangsa Indonesia tidak berjalan dengan semestinya, sebab Indonesia dalam proses sejarahnya dipengaruhi intervensi klas berkebangsaan Asing.[25]
            Tan Malaka meletakkan zaman komunal ikatan suku sebagai level awal dari zaman sejarah Indonesia. Ia mengatakan bahwa pada permulaan sejarah manusia sudah terjadi division of Labour (pembagian kerja) antara kaum laki-laki dan perempuan. Yakni, yang berburu dengan yang melakukan pekerjaan rumah.[26]  Tan Malaka juga berbicara tentang asal-usul bangsa Indonesia, yang datang dari Mongolia, setelah sampai di Malaka, mereka menyebar, sebagiannya menetap di kepulauan Indonesia sekarang, pada masa itu mereka hidup dalam ikatan suku dan secara garis besarnya mereka menganut kepercayaan animisme.[27] Tan Malaka menuliskan, bahwa fakta sejarah membayang pada sejarah kepercayaan, serta tradisi dan budaya yang ada pada masa itu, ia pun mengatakan kepercayaan animisme dan sistem kepemimpinan ikatan suku tersebut, sesuai dengan zaman masyarakat berkeluarga (berkelompok/komune).[28]
            Dan melalui Madilog (1943), Tan Malaka mengusulkan tujuan sejarah bangsa Indonesia di masa depan, yaitu zaman Indonesia merdeka dan sosialistis. Cara berpikir realistis Madilog akan membawa masyarakat pada tujuan akhir ini. Bangsa Indonesia Asli yang dulu tersebar di seluruh Asia Tenggara dan Australia daerah tropis akan bersatu kembali pada zaman masyarakat Indonesia yang sosialistis, dibawah nama Federasi Aslia[29] 15 tahun sebelumnya di dalam buku Aksi Massa (1926) federasi sosialis ini dinamakan Tan Malaka dengan sebutan FRI (Federasi Republik Indonesia).[30]
            Pemikiran Sejarah Tan Malaka mengenai kapitalisme di Indonesia seakan menyentuh realitas Zaman sekarang ini, ia dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa salah satu ciri dari zaman kapitalisme ditandai dengan bercokol kuatnya kepentingan-kepentingan klas kapitalis (pengusaha/pemodal) dalam kehidupan ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Suatu realitas yang tidak bisa kita pungkiri bahwa sebagian besar saham atau aset-aset kekayaan Tanah Air Indonesia saat ini, seperti diantaranya perkebunan sawit dan Tanbang telah dikuasai dan dinikmati hasilnya oleh klas Kapitalis (investor/pemodal) berkebangsaan asing. Kekayaan tanah air Indonesia tidak dikuasai oleh negara atau rakyat Indonesia yang sebagian besar notabenenya adalah klas Proletar (buruh, tani, nelayan, wiraswasta dan pedagang kecil dan lain sebagainya), akibatnya rakyat tidak memperoleh kontribusi yang begitu berarti dari kekayaan yang terkandung di Tanah Airnya sendiri. Sementara dalam Undang-undang ditekankan bahwa: Bumi, Air, serta kekayaan didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahtraan rakyat. Disamping itu pemikiran-pemikiran Tan Malaka juga seakan memberi isyarat bahwa bangsa Indonesia harus berjuang kembali untuk mencapai keadilan sosial, bangsa Indonesia harus berjuang kembali untuk mencapai kedaulatan ekonomi dan kedaulatan atas kekayaan Tanah Airnya sendiri.
            Tan Malaka mengingatkan bahwa kemerdekaan itu bukanlah kedaulatan politik saja, tetapi juga kedaulatan ekonomi. Ia mengatakan: “baru apabila para wakil rakyat yang sesungguhnya itu memegang pemerintah Indonesia, disamping lebih kurang 60 % kebun, pabrik, tambang pengangkutan dan Bank Modern berada di tangan rakyat Indonesia, barulah revolusi-nasional ada artinya dan ada jaminannya bagi kesejahtraan masyarakat Indonesia. Tetapi jika Pemerintahan Indonesia dipegang oleh kaki tangan kapitalis Asing, walaupun dari bangsa Indonesia sendiri, tetapi jika 100 % perusahaan modern berada di tangan kapitalis-asing (pemodal/investor asing), maka sama seperti di zaman “HINDIA BELANDA”, maka revolusi nasional semacam itu telah membatalkan Proklamasi dan kemerdekaan Nasional.”
            Masa pengaruh hinduisme dikatakan Tan Malaka tidak mengenal fakta sejarah, sejarah yang diwariskan dari masa itu mempusakakan mistik dan tahayul pada bangsa Indonesia, sehingga akan susah untuk menganalisa fakta sejarah dari kisah-kisah yang mengandung unsur mistik kepercayaan tersebut. Manusia dalam cerita Hindu bukanlah manusia lagi, melainkan dewa, monyet atau lutung. Politik dan aksi pemimpinnya bukan lagi sikap politik dan aktivitas pemimpin manusianya, melainkan siasat perbuatan diluar akal sehat manusia. Hinduisme sebagai idealisme yang mereka anggap suci membuat mereka tidak memiliki cukup perhatian terhadap berbagai perkara sejarah, seperti politik, ekonomi, teknologi, masyarakat dan sebagainya. Mereka menganggap materi (benda) sebagai barang tak berguna, tubuh manusia dianggap sebagai karma. Seperti cerita Hindu Arjuna dan Sri Rama.[31]
            Berdasarkan uraian diatas, penulis melakukan penelitian ini dengan judul “Pemikiran Sejarah Tan Malaka”. Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan pemahaman dan kontribusi kongkrit dalam setiap pembahasannya.

B.               RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
            Penelitian ini disusun berdasarkan beberapa pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yaitu:
1.  Bagaimana latar belakang sosio historis perkembangan pemikiran Tan Malaka?
2.  Bagaimana teori-teori pemikiran perkembangan sejarah oleh Tan Malaka?
3.  Bagaimana pola dan tahap perkembangan sejarah manusia dalam imajinasi pemikiran Tan Malaka?
            Batasan masalah dalam penelitian sejarah pada umumnya adalah batasan temporal dan batasan spasial. Namun, sesuai dengan judul penelitian ini, batasan masalahnya adalah memfokuskan kajian pada Pemikiran Sejarah Tan Malaka yang lebih didasarkan pada intisari “Aksi Massa” 1926 dan “Madilog” 1943.

C.                TUJUAN DAN  MANFAAT PENELITIAN.
            Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Untuk menjelaskan latar belakang sosio historis perkembangan pemikiran Tan Malaka
2.  Untuk menjelaskan epistemologi pemikiran Tan Malaka.
3.  Untuk menganalisa teori-teori pemikiran sejarah Tan Malaka.
4.  Untuk menganalisa Tahap-tahap perkembangan sejarah manusia berdasarkan pemikiran sejarah Tan Malaka.
            Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:
1.  Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual dalam wacana Sejarah Pemikiran.
2.  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian-penelitian selanjutnya.
3.  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dikalangan akademisi dan non-akademisi.

D.               TINJAUAN PUSTAKA.
            Pemikiran Sejarah Tan Malaka, merupakan pemikiran mengenai sejarah secara universal yang seakan memperlihatkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan sebagai satu ruang lingkup waktu dimana sejarah terus berproses dan membentuk diri sesuai hukum-hukum pokok tertentu. Sebenarnya, kajian Sejarah Pemikiran ini sangat membingungkan bagi diri penulis, disamping karena wawasan penulis yang masih sangat terbatas, buku acuan atau referensi yang penulis gunakan juga sangat minim. Walaupun dengan judul penelitian sebelumnya penulis tidak dinyatakan gagal dalam seminar proposal, namun sebagai mahasiswa yang di beri label revisi berat, tetap saja penulis harus mengganti judul tersebut dan melakukan penelitian ini sekitar dua bulan. Setelah ujian komprehensif, skripsi ini dinyatakan lulus dengan revisi ringan. Walau terkesan pesimis, kiranya penulis benar-benar menyadari bahwa memang tidaklah memungkinkan kajian “Sejarah Pemikiran” dapat terselesaikan oleh penulis dengan semestinya. Sampai-sampai penulis beranggapan pernyataan lulus setelah ujian komprehensif skripsi, hanyalah kalimat penghibur saja. Maka dari itu, penulis meminta maaf atas segala kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang pembaca temukan dalam penulisan skripsi ini, semua itu semata-mata sebagai tanda keterbatasan dan kekeliruan dari diri penulis.
            Keunikan kajian seputar tokoh Tan Malaka sudah banyak dimuat dalam berbagai buku dan karya penelitian ilmiah, sementara penulis melalui tulisan ini berharap dan mencoba untuk dapat memberi corak menarik dengan meneliti “Pemikiran Sejarah Tan Malaka”, merupakan kajian sejarah pemikiran yang belum pernah penulis temukan pada buku ataupun karya-karya penelitian manapun.
            Diantara peneliti yang telah banyak mengupas tentang tokoh revolusioner ini adalah Harry Albert Poeze, peneliti senior sekaligus direktur penerbit KITLV Belanda. Dalam buku yang berjudul “Pergulatan Menuju Republik TAN MALAKA 1925-1945” (aslinya berjudul, Tan Malaka Levensloop van 1897-1945 dan terbit tahun 1997 di Negri Belanda) Poeze memuat riwayat hidup, perjuangan politik, dan perkembangan pemikiran Tan Malaka semenjak ia lahir ke dunia sampai menjelang akhir Agustus 1945.[32] Karya Harry A. Poeze ini banyak mengungkap fakta-fakta tentang Tan Malaka dalam bentuk biografi. Buku Poeze ini juga memaparkan pandangan Tan Malaka tentang suatu peristiwa sejarah. Berbeda dengan penelitian ini yang khusus memfokuskan kajian pada pembahasan pemikiran sejarah Tan Malaka, bukan pandangan sejarah Tan Malaka.
            Adapun peneliti lain adalah Syaifudin dalam bukunya “TAN MALAKA: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis”, yang diterbitkan pada tahun 2012. Dalam buku ini Saifudin berusaha menjelaskan pemikiran sosiologi dan pemikiran pendidikan Tan Malaka dalam perspektif keilmuan sosiologi. Syaifudin sendiri mengakui bahwa pada penulisan buku tersebut, beliau berusaha melepas diri dari dominasi pembahasan sejarah yang umumnya ditemukan pada buku-buku yang membahas Tan Malaka.[33] Buku ini juga juga membahas pemikiran Tan Malaka, namun berbeda dengan penelitian penulis disini yang secara kusus lebih memfokuskan kajian pada pemikiran sejarah Tan Malaka. Ada sedikit pertentangan antara penelitian ini dengan apa yang ditulis pada buku Syaifudin tersebut.
            Zulhasril Nasir dalam karyanya yang berjudul, “TAN MALAKA dan Gerakan Kiri Minangkabau” karya ini menjelaskan hubungan kerevolusioneran Tan Malaka dengan  demokrasi Minangkabau.[34] Buku ini menjelaskan unsure egaliter Minangkabau dalam diri Tan Malaka dan perbedaan idiologi Tan Malaka dengan tokoh pergerakan asal minang lainnya. Buku yang ditulis Zulhasril Nasir ini berbeda dengan penelitian penulis disini yang mengkaji pemikiran sejarah Tan Malaka.
            Karya lain adalah buku Taufik Adi Susilo yang berjudul “Tan Malaka Biografi Singkat 1897-1849”. Karya ini menyajikan dan menjelaskan Biografi Tan Malaka, kisah hidup dan petualangannya dengan gelora fikirannya yang radikal, jejak gerakan politik dan gerak pendidikannya, serta misteri kematiannya.[35] Apabila dilihat, karya Taufik Adi susilo ini adalah karya sejarah jenis Biografi, berbeda dengan penelitian ini yang secara kusus mengkaji pemikiran sejarah Tan Malaka.
            Sebenarnya, masih banyak karya penelitian lain yang juga mengkaji Tan Malaka dengan berbagai sudut pandang disiplin keilmuan. Berbagai unsur ilmiah, dari ranah sejarah, hukum, filsafat, sastra, politik, ekonomi, social, sampai dunia kemiliteran ada dalam karya-karya Tan Malaka, maka tidaklah mengherankan jika banyak penulis, ilmuan social, politikus, ekonom, filsuf, sejarawan dan sastrawan yang meneliti Tan Malaka. Sementara penulis disini mencoba meneliti pemikiran Tan Malaka, dengan memfokuskan kajian pada “Pemikiran Sejarah Tan Malaka”

E.                KERANGKA ANALISIS.
            Istilah “sejarah intelektual”  mempunyai kedudukan yang cukup mantap di Amerika Serikat, meskipun Guide to Historical Assocation tidak sering memakai istilah ini, melainkan lebih cendrung memakai istilah “sejarah kebudayaan (culture history) atau “ide-ide social” (social ideas).  Namun di dunia barat yang sering dipakai adalah istilah-istilah lain seperti sejarah ide-ide. Dalam arti luas, sejarah intelektual dapat dikatakan sebagai pokok masalah data apa saja yang ditinggalkan oleh aktivitas fikiran-fikiran manusia. Bahan yang terpenting adalah karya para filsuf, seniman dan penulis yang meliputi disiplin spesifik seperti filsafat, kesusastraan, agama, ilmu pengetahuan dan kesenian.[36] Dalam artian sempit, sejarah intelektual berarti mencoba menceritakan siapa yang menghasilkan dan bagaimana hasil intelektual dapat mendekati suatu kajian sosiologi retrospektif, bahkan sosiologi retrospektif pada umumnya. Namun sejarah intelektual tidak dapat diartikan sebagai sejarah utama. Sebagai penelitian dengan bahan hasil-hasil pemikiran, sejarah intelektual tidak hanya menghabiskan permainan intelek dari sejarawan mengenai bermacam-macam materi yang ditinggalkan pada masa lampau, tetapi seperti dalam penulisan sejarah pada umumnya sejarawan diminta sekurang-kurangnya memberi perhatian mengenai catatan-catatan pemikiran manusia. Teristimewa karya-karya seperti dalam bidang sejarah social dan ekonomi sebagai suatu kesadaran akan peningkatan peranan-peranan ide-ide.[37]
            Ada kesulitan dalam membedakan secara jelas antara sejarah intelektual dan sejarah filsafat, sejarah kesusastraan dan sejarah ilmu pengetahuan serta bidang-bidang kebudayaan yang lainnya, namun sejarah intelektual atau sejarah pemikiran tidak hanya mencakup semua bidang tersebut. Sejarawan filsafat berkepentingan menerangkan ide-ide dari filsuf, ia mungkin mengkritik seperti mengadakan evaluasi, memuji bahkan menyalahkan ide-ide tersebut, ia tidak harus walaupun mungkin mencoba mendapatkan penjelasan tentang berbagai ide pada sejarah pribadi filsuf tertentu dalam seluruh lingkungannya. Sejarawan intelektual berkepentingan dengan ide filsafat dan juga harus melakukan sebagian seperti yang dilakukan sejarawan filsafat. Jelasnya dengan sejarah ilmu pengetahuan, tujuan sejarawannya adalah mencatat penemuan teori-teori dan menempatkankannya pada urutan kronologis dan bahkan dapat menerangkan diseminasi antara berbagai ilmiawan, sementara sejarawan intelektual memperhatikan ilmu pengetahuan, harus banyak mengetahui apa yang telah terjadi, akan tetapi juga harus bertanya pada dirinya apa yang terjadi dengan teori-teori ilmu pengetahuan bilamana teori-teori tersebut beredar diantara orang banyak. Jadi perbedaannya terletak pada pengkonsentrasian dan pemberian tekanan tentang apa yang diartikan sebagai ide-ide itu oleh ahli, oleh professional dalam bidang tertentu dan apa artinya bagi orang banyak yang kepada mereka ide-ide tersebut juga tembus secara tersaring. Hal tersebutlah yang mendasari perbedaan antara sejarawan dengan disiplin intelektual khusus dan sejarawan pemikiran.[38]
            Perkenalan “Intelektual History” atau sejarah pemikiran dan pengakuan terhadapnya secara umum sebagai penulisan sejarah berasal dari akhir abad ke 19 dan dari organisasi profesi akademis sejarah. Di Amerika Serikat istilah ini dipopulerkan oleh James Harvey Robinson dalam karyanya “Mind in The Making (1921). Di Jerman, Dilthey dikenal sebagai pelopor sejarawan intelektual modern dan Max Weber, meskipun dikenal secara resmi sebagai seorang sosiolog, memberi dorongan karya yang banyak dibidang ini. Sejarawan intelektual selalu mencoba menjadi seorang pemikir daripada menjadi seorang pencerita, bahkan tidak mempunyai suatu kisah untuk diceritakan[39]

F.                METODE PENELITIAN DAN BAHAN SUMBER.
            Pada dasarnya penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan kajian sejarah kritis analisis yang terdiri dari empat tahapan yaitu “Heuristic” (pengumpulan data), “Kritik Sumber” (kritik internal dan kritik eksternal), “Intrprestasi” dan “Historiografi”.
            Heuristik merupakan tahapan mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan pembahasan penelitian yang berupa sumber primer dan sumber sekunder. Sesuai dengan focus kajian penelitian, sumber primer berupa buku-buku karangan Tan Malaka sendiri seperti Aksi Massa dan sumber sekunder berupa tulisn-tulisan, jurnal dan buku-buku yang membahas kajian seputar Tan Malaka.
            Kritik Sumber merupakan tahapan ketika peneliti mengkritisi sumber-sumber penelitian, dengan tujuan untuk menemukan kredibilitas sumber yang ada. Kritik sumber merupakan langkah dalam penelitian sejarah yang dilakukan terhadap sumber sejarah yang telah diperolah dalam langkah heuristik, baik kritik terhadap sumber primer maupun sumber sekunder. Kritik sumber terbagi dalam dua bentuk yaitu kritik eksternal. dan kritik internal. Kritik eksternal adalah kritik atau verifikasi terhadap keabsahan (keakuratan) dan keaslian sumber/data dan kritik internal merupakan kritik atau verifikasi terhadap kredibilitas atau kepercayaan isi data berupa fakta-fakta sejarah.
            Interpretasi merupakan tahapan peneliti menganalisis keterkaitan antara  informasi-informasi yang telah dikumpulkan (interprestasi sintesis), menganalisis hubungan sebab akibat (interprestasi analisis) dan peneliti membentuk konstrusi peneliti sendiri atau sudut pandang peneliti sendiri tentang topik yang sedang diteliti. Sudut pandang peneliti tersebut harus dianalisa kembali sampai akhirnya peneliti siap menyampaikan sudut pandangnya secara tertulis dalam tahapan selanjutnya.
            Historiografi merupakan penulisan sudut pandang baru dari peneliti yang dihasilkan pada tahapan Interprestasi kemudian disampaikan atau disajikan dalam bentuk karya sejarah. Disini peneliti melakukan pengkaitan antar persoalan yang ada dan diterangkan pada masing-masing bab yang disusun secara sistematis dan komunikatif guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

G.               SISTEMATIKA PENULISAN.
            Sistematika penulisan ini di susun dalam IV bab yaitu :
Bab I     :        Merupakan pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Batasan Dan Rumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Kerangka Analisis, Tujuan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II   :        Memaparkan Biografi Tan Malaka, yang meliputi Riwayat Hidup Dan Perjuangan Tan Malaka, serta Karya-Karya Pemikirannya.
Bab III  :        Bab ini berisi penjelasan singkat mengenai Latar Belakang sosio historis perkembangan pemikiran Tan Malaka       Dan Epistemologi Pemikiran Tan Malaka, Teori-teori Pemikiran Sejarah Tan Malaka, Pola Dan Tahap Perkembangan Sejarah Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Sejarah Tan Malaka.
Bab IV         Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan.


DAFTAR PUSTAKA
Tan Malaka,  1951. MADILOG, Tan Malaka 1943. Jakarta: Widjaya (Merupakan file pdf. Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague, dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007).
Tan Malaka, 2000. AKSI MASSA. Tan Malaka 1926. Jakarta: Teplok Press. (Merupakan file pdf, dimuat ke HTML Oleh Ted Crawford dan Ted Sprague).
Tan Malaka, GERPOLEK (Gerilya Politik dan Ekonomi).  Tan Malaka, 1948  Jakarta: Teplok Press. (Merupakan file pdf, dimuat ke HTML Oleh Ted Crawford dan Ted Sprague).
Poeze, Harry A, 1999. Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945. Jakarta: Grafiti.
Nasir Zulhasril, 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Yogyakarta: Ombak.
Saifudin, 2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Susilo, Taufik Adi, 2008.Tan Malaka Biografi Singkat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
JOHN ROOSA, 2008, Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta; Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra.
Abdurrahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta; Yayasan Bentang Budaya. 
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi, Jakarta: Gramedia.
Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara, Jilid III (TePLOK PRESS, 2000).
Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy (Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962).


[1]Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. viii-ix
[2]Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. XII
[3] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 10
[4] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 70-74
[7] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 273
[8]Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) hlm 10-11
[9] Syaifudin , “Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm76-77
[10] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 71
[11] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 70-74
[12]Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 76
[13] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xxiii-xxviii
[14] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123
[16] Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 139-140.
[17] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 106-108
[18] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 107-108.
[19] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 108
36 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6.
37 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6-7.
[20] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm 292
[21] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 101-104
[22]  Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm.
[23]  Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page.
[24]   Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 106
[25] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 21.
[26] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 122
[27] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253-254.
[28] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 274-275.
[29] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 293
[30] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 56.
[31] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 257-258.
[32]  Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999).
[33] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm. 6.
[34] Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura, (Yogyakarta, Ombak, 2007).
[35] Taufik Adi Susilo, Tan Malaka Biografi Singkat. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
[36] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 201
[37] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 201-202
[38] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 202-203
[39] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 204