BAB III
PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA
A.
LATAR BELAKANG SOSIO
HISTORIS PEMIKIRAN TAN MALAKA
...................................................
B.
EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN TAN
MALAKA
Analisa mengenai konstruksi pemikiran sejarah Tan Malaka disini
lebih didasarkan pada upaya menelisik karya Madilog (1943). Sebab, disamping Madilog merupakan opus magnum pemikiran
Tan Malaka sebagai hasil pengembaraan keintelektualannya, pada buku tersebut teori-teori
pemikiran sejarah dipaparkan Tan Malaka lebih lengkap dan lebih jelas dibanding
karya-karya lainnya. Madilog merupakan akronim dari Materialisme-Dialektika-Logika. Tan Malaka sendiri menyebut karya
terbesarnya ini sebagai cara berpikir baru, sebuah pusaka warisan dari dunia
Barat yang telah ia olah kembali sedemikian rupa, disesuaikan dengan situasi
dan kondisi objektif rakyat Indonesia.
Ditinjau dari Madilog, filsafat Tan Malaka berada pada
aliran materialisme. Fokus analisis
filsafat materialisme didasarkan pada permulaan materi atau kebendaan yang
nyata. Materialisme yang dimaksud Tan Malaka adalah materialism-historis dan materialism-dialektis
yang bersumber dari pemikiran Karl Marx.5
Dilihat dari sejarah perkembangannya,
Filsafat materialisme sudah ada
semenjak zaman yunani kuno, salah satu tokohnya adalah Thales. Materialisme diartikan sebagai pandangan empiris (indrawi)
yang pada intinya menganggap realitas merupakan permulaan materi (benda nyata).
Misalnya Thales menganggap asal mula alam adalah air.10 Pada
abad pertengahan filsafat materialisme ini mengalami perkembangan disaat dogma
agama (gereja) mendapat perlawanan dari orang-orang rasional. Salah satu
tokohnya yang terkenal adalah Thomas
Hobbes (1588-1679). Menurut Hobbes realitas adalah sesuatu yang bersifat
bendawi. Lebih lanjut Hobbes menambahkan, yang ada adalah materi fisik, dan
segalanya hanya dapat diterangkan sebagai materi yang bergerak. Menurut Juhaya
S.Praja, Hobbes dapat dikatakan sebagai penganut materialisme. Maka dari itu,
ajaran Hobbes merupahan materialisme pertama dalam sejarah modern.11
Kemudian sekitar abad 18 paham materialisme mulai tumbuh
subur di Negara-negara barat. Hal ini disebabkan banyaknya para filsuf yang
menganut paham tersebut. Filsafat materialisme
sendiri merupakan anti thesis dari aliran filsafat
idealisme. Idealisme merumuskan bahwa realitas terdiri dari ide-ide,
pikiran, akal atau ruh dan bukan didasari atas permulaan materi atau kebendaan.
Filsafat idealisme memosisikan akal terlebih dahulu daripada materi. Maka dari
itu, diantara aliran materialisme dan idealisme terjadi perbedaan prinsip dan
perseteruan. Mengenai perseteruan tersebut, Tan Malaka mengatakan;
Kaum filsafat itu terbagi
dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh mereka atas
soal filsafat, yang berbunyi: “mana yang asal (primus) dan manakah yang turunan
(derivative) diantara benda (matter) dan ide (paham)?.12
Setelah Hobbes, di abad 18 regenerasi perdebatan ini
dilanjutkan oleh filsuf besar Jerman, Ludwig
Andreas Fon Feuerbach (1804-1872) dan George
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Disini Hegel sebagai penganut idealisme
merumuskan prinsipnya bahwa “semua yang
nyata adalah rasional dan semua yang rasional adalah nyata.” Hegel,
menganggap bahwa sesuatu tentang dunia dan sejarahnya berkembang dari suatu
yang nonmaterial atau yang real dan merupakan produksi dari ide bukan indriawi.13 Sedangkan rumusan Feuerbach sebagai penganut filsafat materialisme berbanding terbalik dengan rumuskan Hegel. Feuerbach
menyatakan bahwa yang real merupakan produksi dari indriawi (materi/benda),
bukan dari ide. Feuerbach mengungkapkan “materi
bukan produk dari pikiran, tetapi pikiran itu hasil tertinggi dari materi.”14
Perdebatan antara Hegel dan Feuerbach, kemudian
menggerakkan analisis kritis Karl Marx.
Analisis kritis ini kemudian melahirkan sintesis pemikiran Marx, yaitu materialisme historis dan materialisme dialektis. Metode
dialektis diadopsi oleh Marx dari
pemikiran Hegel. Dan dari Feuerbach, Karl Marx memahami prinsip materialisme15.
Filsafat materialisme Karl Marx kemudian
melahirkan banyak tesis dan pemikiran-pemikiran baru, baik di bidang agama, social,
ekonomi dan filsafat, karena menjadi dasar analisis tokoh-tokoh pemikir
dikemudian hari, kususnya golongan kiri, pemikiran Marx yang banyak menjadi
pijakan pergerakan, yaitu “Manifest der Kommunistischen”
(manifesto partai komunis) yang terbit pada 21 Februari 1848.16 Pemikiran Karl Marx kemudian oleh Friedrich
Engels dilembagakan menjadi sebuah ideology yang bernama Marxisme dan penganutnya disebut dengan
nama Marxis. Ajaran Marxispun menyebar seantera dunia.18
Pemikiran
Marx kemudian semakin ideologis dan politis saat kembali mendapat perwajahan
dari Vladimir Lenin. Berangkat dari
tesis Karl Marx tentang filsafat yang tidak hanya ditafsirkan, tetapi mengubah
dunia. Lenin menggunakan Marxisme sebagai penyemangat kaum buruh untuk
melakukan revolusi Rusia pada 1917, dan revolusi Rusia pun berhasil. Dengan
demikian, Lenin membuktikan tesis Marx tentang revolusi proletar bukan suatu yang utopis (hayalan). Berkat
keberhasilan Lenin, lahirlah ajaran Marxisme-Leninisme
sebagai pijakan ideologi bagi kaum komunis dunia.19
Lenin mengembangkan
organisasi yang bernama Komunis
Internasional (Comintern) sebagaimana yang telah digagas oleh Marx.
Komintern pun semakin luas menyebarkan ideologinya di seluruh dunia yang sedang
mengalami penindasan imperialisme dan
kapitalisme di abad ke-19, salah
satunya Indonesia. Sneevliet adalah salah satu tokoh yang memberi andil besar dalam perkembangan
ideologi komunis di Indonesia. Melalui organisasi yang didirikannya pada 1914
di Semarang, yaitu Indische Sociaal
Democratische Vereniging (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia, ideologi
komunis di Indonesia semakin berkembang. ISDV beranggotakan orang-orang Belanda
(diantaranya Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder serta Douwes Dekker)
dan orang-orang Indonesia (seperti Semaun, Alimin dan Darsono). Dengan
adanya ISDV kususnya bagi golongan pribumi yang radikal, benih-benih perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda semakin terorganisasi.20
Pada 23 Mei 1920 di Semarang, Semaun dan Darsono
mempelopori mengubah ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI menjadi
organisasi komunis pertama di wilayah Asia. Berdirinya PKI menunjukkan bahwa
ajaran Marxisme-Leninisme sudah meluas di Indonesia. Selain PKI, organisasi
Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan Tjokroaminoto juga memakai
referensi-referensi Marxisme, salah satunya menurut Sneevliet yaitu Das Kapital-nya Marx.21 Semaun merupakan ketua PKI pertama
yang melakukan propaganda dan agitasi untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial
Belanda. Dan melalui Semaun, analisis dan gagasan Tan Malaka tentang Marxisme
yang sebelumnya ia dapat saat bersekolah di negeri Belanda semakin
terkonstruksi kuat.22
Namun secara kontekstual, Tan Malaka bukanlah pemikir
Marxis yang konservatif. Berdasarkan pertimbangan kondisi objektif nilai-nilai ke-Indonesiaan,
Tan Malaka meramu Marxisme Indonesia berupa materialisme,
dialektika dan logika yang
disingkat Madilog.4 Prinsip
Madilog adalah materialism dialektis dan materialism historis, yang berasal dari
pemikiran Karl Marx.60
Menelan saja semua putusan
yang diambil oleh pemikir revolusi di
Rusia tahun 1917 ataupun oleh Marx pada pertengahan abad ke-19 dan melaksanakan putusan Marx dan Lenin
di tempat dan tempo berlainan itu di Indonesia ini tanpa mengupas, menguji dan
menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek, membeo, meniru-niru.
Marxisme bukanlah kaji hafalan (dogma), melainkan petunjuk untuk aksi
revolusioner. Semua bukti revolusi Indonesia dan kesimpulan yang menentukan siasat
revolusi Indonesia mesti ditimbang sendirinya satu-persatu menurut nilainya
masing-masing.23
Dengan menyebut
materialisme, Tan Malaka tidak serta-merta mengacu pada paham materialisme
dialektika Marxian. Materialisme pada
Madilog adalah cara berbikir yang konsisten mencari penjelasan atas apapun
dengan cara-cara yang ilmiah. Tan Malaka mencontohkan cara berpikir
materialisme dengan menguraikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
kongkrit, yang semuanya berdasarkan rasionalitas dengan mengutip banyak sekali
penemuan Sains. Materialisme Tan Malaka bukan terutama propaganda pro
kebendaan, melainkan lebih merupakan kampanye anti mistifikasi pandangan mistik
dan tahayul yang jauh menghujam dalam berbagai aspek kehidupan bangsa
Indonesia. Madilog merupakan senjata melawan pola pikir mistik dan tahayul yang
menjadi ciri khas berpikir Timur yang pasif akibat tradisi dan kepercayaan yang
mewariskan impian-impian, mitos-mitos dan khayalan.7
“Hukum berpikir
logika”, dijelaskan Tan Malaka sebagai metode berpikir yang memadai untuk
menyelesaikan persoalan yang dapat dijawab benar atau salah, ya atau tidak.
Yakni, persoalan-persoalan yang bersifat pasti dan kebenarannya tidak bisa
dibantah, diantaranya persoalan matematika, benda dan sifat benda. Namun,
ketika kita dihadapkan dengan persoalan yang melambung pada relatifitas dan
filsafat, maka penggunaan hukum berpikir logika tidak memadai lagi. Pada teori
Relativitas, perkara tempo atau waktu ini dikatakan Tan Malaka penting sekali. Persoalan
yang berhubungan dengan faktor tempo atau waktu, erat kaitannya dengan perkara
sejarah. Adapun perkara yang mengandung unsur waktu, seperti kemasyarakatan,
politik, ekonomi dan sebagainya diselesaikan dengan “hukum berpikir dialektika”. Lebih teoritisnya, hukum berpikir dialektika
digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan waktu, hubungan
kena mengena, seluk beluk, pertentangan, gerak, perkembangan, perubahan,
kemasyarakatan dan sebagainya. Demikianlah hukum berpikir dialektika
menyelesaikan persoalan diatas level hukum berpikir logika.8
Jika Materialisme merupakan cara berpikir yang dibela dan
ingin disemaikan Tan Malaka, maka dialektika dan logika merupakan cara berpikir
yang disusunnya sesuai dengan filsafat materialisme dan ilmu pengetahuan. Dan
pada dasarnya, ketiga komponen Madilog 1943; materialisme, dialektika dan logika,
merupakan hukum berpikir guna memperbaiki cara berpikir timur yang tidak realistis.9 Nalar yang dikembangkan Tan Malaka
cukup jelas, sederhana dan sistematis, sehingga tidak mustahil Madilog dapat
dipahami, bahkan oleh orang-orang yang dengan mentah-mentah menampik paham
Materialisme.
C.
TEORI-TEORI PEMIKIRAN
SEJARAH TAN MALAKA
Ciri khas dari karya-karya Tan Malaka selalu diawali
dengan penjelasan sejarah, kemudian logika dan selanjutnya dialektika. Hal yang menunjukkan sistematisnya
Tan Malaka menjelaskan pemikiran dalam karya-karyanya. Tan Malaka mengatakan; “Ilmu sejarah itu penting sekali untuk suatu
masyarakat. Masyarakat sekarang merupakan akibat dari masa yang telah lampau.
Masyarakat yang akan datang merupakan akibat dari apa yang terjadi sekarang,
yang berkewajiban memperbaiki masyarakat sekarang, mesti mengetahui keadaan
masyarakat tersebut (di masa lampau dan sekarang)”. 24
Pemikiran
sejarah Tan Malaka merupakan refleksi dari teori-teori yang sudah berkembang,
suatu evaluasi kritis yang dilakukan Tan Malaka terhadap berbagai pemikiran,
khususnya pemikiran Hegel, Marx dan
Feuerbach. Bila kita telisik madilog (1943),
terlihat bahwa Tan Malaka lebih mendasarkan pemikiran sejarahnya pada pemikiran-pemikiran
Karl Marx, yang merupakan pemikiran
filsafat sejarah. Filsafat sejarah pada umumnya,
mengarah pada usaha memberi keterangan dan tafsiran luas mengenai perjalanan
sejarah. Ia secara khusus berurusan
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa
arti (makna dan tujuan) sejarah?” atau “hukum-hukum
pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”.
Penyajian sejarahnya memberikan laporan tentang masa lalu manusia yang
memperlihatkan gejala bahwa masa lalu membentuk diri sesuai dengan kodrat dan
prinsip-prinsip pokok tertentu yang sah secara universal, dalam konsepsi yang
mungkin dapat diterima secara intelektual ataupun moral mengenai perjalanan
sejarah sebagai suatu keseluruhan. Para filsufnya berusaha melayani tuntutan
bahwa tafsiran mereka memungkinkan kita untuk dapat meramalkan perkembangan
masyarakat di masa depan.[38]
Didasarkan pada hukum
dialektika-materialis, Tan Malaka memberi gambaran terjadinya alam semesta,
dari penjelasan atom-atom ke alam raya dan tata surya, sampai pada kondisi
kulit Bumi memungkinkan untuk munculnya kehidupan, proses berlanjut ke evolusi
kehidupan Darwinisme, seleksi alam, serta munculnya zaman awal sejarah manusia
dan perkembangannya.[39] Mengenai proses
terbentuknya alam raya, Tan Malaka
menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara teori Ilmu
Bukti peralaman dengan pemahaman Agama. Tan Malaka mengingatkan pembaca agar
tidak mencampur adukkan Ilmu Bukti dan Agama:
“Sangat jauh bedanya
peranggapan ahli bintang zaman sekarang dengan ahli agama. Hendaknya pembaca
anggap Ilmu Bukti tinggal Ilmu Bukti dan Agama tetap Agama.”[40]
Secara teoritis, dialektika-materialisme
Tan Malaka memposisikan matter atau
benda nyata dan pergerakannya sebagai bentuk dasar dari sejarah. Makna
sejarahnya lebih menekankan bahwa masa lalu merupakan realitas fakta berupa dinamika
pergerakan benda nyata, meliputi perkembangan dan perubahan bentuk dan juga
sifatnya, sedangkan mistik dan kegaiban dianggap tidak memiliki peran dalam
perjalanan sejarah. Jelasnya, sejarah bagi Tan Malaka berupa realitas yang
bersifat nyata diluar tahayul kegaiban.
Dari sejarah alam raya ke sejarah
manusia. Tan Malaka menjelaskan sejarah manusia sebagai
perkembangan sistem kemasyarakatan yang pada hakikatnya mengalami perkembangan
berkelanjutan, hingga membentuk suatu kronologis dari perjalanan menyejarah
manusia yang terdiri dari level zaman sistem kekuatan klas yang terus
berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap menuju zaman masyarakat
idealnya. Pada karyanya, Pandangan
Hidup, munculnya Zaman awal sejarah
manusia muncul sebagai akibat adanya relasi dialektis antara alam dan manusia,
alam memberi kontribusi tekanan pada kehidupan manusia, hingga manusia membentuk
dan mengembangkan suatu sistem kemasyarakatan guna keberlangsungan hidup
mereka. Bentuk sistem kemasyarakatan pertama tersebutlah yang dianggap sebagai
Zaman awal Sejarah Manusia.[41] Alam
membentuk manusia dan sebaliknya manusia berkontribusi membentuk alam dan masyarakatnya.
Sejarah manusia
dibentuk oleh pertarungan klas yang
memajukan masyarakat dari suatu zaman sejarah, ke tingkat zaman yang lebih
tinggi. Pertarungan klas di Zaman Masyarakat
Perbudakan menggerakkan perkembangan sejarah menuju Masyarakat Feodolisme, pertarungan klas di Zaman Masyarakat
Feodalisme membentuk perubahan sejarah menuju Masyarakat Kapitalisme, dan seterusnya.[42] Dalam
proses ini berlaku Thesis, anti-Thesis dan Synthesis; massa klas yang tertindas
melakukan perombakan secara revolusioner sebagai anti-thesis dari sistem
kekuatan kelas lama, menuju sistesisnya; zaman kekuatan kelas baru yang
revolusioner.[43]
Tan Malaka mengatakan bahwa
manusialah yang membentuk dan merubah sejarahnya sendiri, namun bukan berarti
sejarah ditentukan oleh kehendak individu manusianya, melainkan menurut
faktor-faktor nyata dimasyarakat. Analisis perkembangan sejarah kemasyarakatan
Tan Malaka,
menempatkan “perhubungan klas” sebagai faktor
dasar yang utama. Dijelaskan Tan Malaka dengan sebuah thesis yang
berbunyi; “Jumlah Perhubungan klas yang
ada dimasyarakat menjadi susunan ekonomi, atas susunan ekonomi tersebutlah
berdiri politik dan perundangan suatu Negara. Selanjutnya, Susunan
Undang-undang dan Politik tersebut berpengaruh pasti pada cara pikir dan sudut
pandang Manusia sebagai Masyarakat”.[44]
Manusia yang memasuki alam sosial
ekonomi suatu Zaman Masyarakat tidak bisa lepas dari Perhubungan Klas di
masyarakat tersebut. Jika ia hidup di Zaman masyarakat Perbudakan, maka ia
tidak bisa lepas dari perhubungan Klas Budak dan Klas Tuan. Jika ia memasuki
masyarakat Feodalisme, maka ia terikat pada perhubungan; klas serves dan klas Tuan
feodal. Dan seseorang yang hidup di Zaman Kapitalisme, maka ia akan terikat
pula dengan perhubungan klas masyarakat Kapitalisme tersebut, yaitunya
perhubungan klas Proletar dan Kapitalis (Pemodal) atau yang Berpunya dan Tak
Berpunya.33
Perhubungan
satu klas dengan klas lainnya atau satu golongan dengan golongan lainnya dalam
pekerjaan produksi dianggap sebagai Susunan Ekonomi. Perhubungan Budak dan
Tuannya menjadi Susunan Ekonomi di Zaman Perbudakan. Perhubungan Kaum Buruh dan
Kaum Bermodal dalam kegiatan produksi menjadi Susunan Ekonomi di Zaman
Kapitalisme. Selanjutnya, Susunan Ekonomi
tersebut dianggap mendasari bentuk Politik dan sistem Negara. Seperti pada
Zaman Feodalisme, Susunan Ekonomi Feodalisme mendasari bentuk Undang-undang dan
Politik dalam bernegara. Sedangkan dalam zaman Kemodalan (kapitalisme), Susunan
Ekonomi Kapitalisme itulah yang mendasari sistem dan Politik Negara.34
Disamping itu, susunan Undang-undang dan Politik dianggapnya berpengaruh pasti pada
Tata Kodrat Jiwa Manusia sebagai Masyarakat". Diatas berbagai
kepentingan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, didirikan superstruktur (bangunan)
harapan, cara berpikir dan sudut pandang masyarakatnya. Mereka yang hidup dan
bersosialisasi didalam masyarakat ekonomi Feodal, sama-sekali tidak lepas dari
semangat sistem, Politik dan kebudayaan Feodalisme tersebut. Dan mereka yang
hidup dan bersosialisasi didalam masyarakat ekonomi Kapitalisme, tidak luput
pula dari semangat sistem, Politik dan Kebudayaan yang kapitalistis tersebut. 35
Tan Malaka menganggap dalam
perkembangan sejarah, pada suatu masyarakat akan muncul potensi kontradiksi klas akibat ketertindasan atau ketimpangan
kelas yang kian hari-kian tajam,36
semakin besar ketertindasan disatu pihak, semakin besar pula revolusi yang akan
timbul.37 Namun, keadaan masyarakat bukanlah faktor mutlak dan
tersendiri yang menentukan perkembangan sejarah manusia, sebab disamping
perhubungan klas dan faktor-faktor matter lainnya, keberadaan pikiran
(faktor Ide) sebagai suatu reaksi juga dianggap menentukan perkembangan sejarah
manusia. Terlihat pada karya-karyanya sering dijelaskan pentingnya “cara berpikir rasional”; logis,
realistis dan fleksibel untuk kemajuan masyarakat.[45] Salah
satunya dipaparkan Tan Malaka dengan thesis yang menyatakan; “pikiran, ide, atau paham manusia itu
dibentuk oleh alam dan keadaan masyarakatnya, dan tidak hanya keadaan
masyarakat saja yang membentuk pikiran atau ide itu, tetapi juga sebaliknya,
kelak pikiran atau paham itu melantun membentuk masyarakat baru.”[46]
Peranan ide (pikiran)
terhadap proses sejarah, dapat kita lihat ketika suatu masyarakat berada pada
proses perkembangan dialektika sejarahnya, yaitu saat suatu masyarakat berada
pada potensi terjadinya kontradiksi antara kekuatan-kekuatan klasnya. Kontradiksi
tersebut mengarah pada suatu perbuatan atau tindakan massa berupa revolusi
pembaharuan yang merubah sejarah. Revolusi pembaharuan ini terjadi akibat
dorongan ketimpangan klas dan faktor-faktor matter lainnya yang disertai
pembentukan pikiran (idiologi) yang rasional. Dengan
berpikir rasional muncul kesadaran klas dalam pikiran masyarakat tertindas
untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Pertentangan klas
tersebut menjadi bayangan dalam otak masyarakat kelas yang saling bertentangan
tersebut, satu terjemahan dari pikiran manusia tentang kontradiksi kelas yang
tengah terjadi. Pada satu pihak klas penindas berpandangan dan berpolitik untuk
mempertahankan undang-undang dan tata Negara yang mereka anggap cocok dengan
keamanan ekonomi dan kekuasaan mereka. Dan dilain pihak, kelas tertindas yang
pada pandangannya pula, berkeinginan untuk melakukan pembaharuan terhadap
sistem politik dan perundangan yang dianggap telah menjadi alat menindas dan merampas hak-hak ekonomi mereka.40
Tan Malaka mengingatkan adanya
berbagai paham, sudut pandang dan cara berpikir yang ditanamkan secara
tersistematis oleh klas klas kapitalis berkebangsaan asing terhadap pikiran
masyarakat Indonesia, sehingga mereka dengan leluasa dapat mengeksploitasi
kekayaan tanah air Indonesia tanpa adanya perlawanan, mengeruk laba yang besar,
serta memperkuat penguasaan ekonomi mereka di Indonesia. Semua itu tentu untuk
kepentingan ekonomi mereka. Sementara bangsa Indonesia yang dieksploitasi
kekayaan tanah airnya, sudut pandang dan cara berpikir yang ditanamkan pihak
asing tersebut tidak lebih dan tidak lain merupakan suatu pembodohan yang melemahkan,
inilah yang disebut “mistifikasi”.
Keterjajahan mengungkung bangsa
Indonesia sekian lama, karna kuatnya mistifikasi yang diakukan bangsa penjajah
terhadap bangsa indonesia, Mistifikasi isme dari kekuasaan penjajah itu semakin
berhasil akibat pembodohan yang tersistematis dan keadaan tersebut diperparah
lagi dengan adanya sikap feudal, serta cara berpikir mistik dan tahayul bangsa
Indonesia yang diwariskan pengaruh Hindu.50
Secara tersistematis, Mistifikasi telah membuat generasi bangsa Indonesia
bersikap pasif atas ketertindasannya dan tunduk pada eksploitasi asing yang
merampas hak-hak masyarakat atas kekayaan di Tanah Air mereka sendiri.
Berdasarkan thesis Karl Marx
dalam bukunya The German Ideologi, Tan
Malaka mengungkapkan “bukan kesadaran
manusia yang menentukan keberadaan sosial mereka. Namun sebaliknya keberadaan
sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”45 Dialektika kemasyarakatan dan ide Marx
yang satu arah ini, dalam Madilog 1943, lebih lanjut diterangkan Tan Malaka dengan
tesis-tesis Marx lainnya, sehingga Tan Malaka sampai pada kesimpulan bahwa dialektika
kemasyarakatan dan ide Karl Marx itu bukan satu arah, melainkan dua arah. Ini dianalogikan
Tan Malaka sebagai sebuah bola yang dipantulkan ke lantai. "Sianak memukul bola yang melantun dengan telapak tangannya. Makin
keras dia memukul, makin kuat perlantunannya.” 46
Marx biasanya membalikkan
perkara itu. Buat Marx tidak saja keadaan masyarakat menjadi alat adanya paham
masyarakat, tetapi paham tadi pada satu ketika membalik mempengaruhi masyarkat. Pada tingkat pertama memang benda menentukan
pikiran, tetapi seusudahnya itu pikiran itu melantun, membalik mempengaruhi
benda. Seperti pada Hegel juga pada kena-mengenanya benda dan pikiran. Cuma
buat Hegel, ide, pikiran itulah yang pertama, sedangkan buat Marx adalah
sebaliknya. Yang pura-pura tahu atau tida tahu perkara itu, ialah mereka yang
berkepentingan buat memusuhi Marxisme.47
Mengenai
perkara perlantunan benda masyarakat dan pikiran, Tan Malaka mencoba memberi
gambaran sebagai berikut:
Gedung pikiran
(superstruktur)
a. Tata Kodrat
Jiwa
b. Idaman
Paham.
(Perbuatan)
Benda yang
menjadi dasar (Basis)
Sifat Bumi dan
Iklim.
Bentuk Pesawat.
Keadaan
Ekonomi.
Keadaan
Politik.
KETERANGAN :
4 Perkara
dibawah (1,2,3,4) yang dianggap benda menjadi dasar dan dua perkara (a dan b)
menjadi Gedung pikiran. Yang 4 dibawah membayang ke atas, ke pikiran lihat
panah ke (1). Pikiran melantun mengenai mengubah dasar dengan Perbuatan. Lihat
panah ke (2). Perbuatan ditaruh diantara Benda dan Pikiran, sebab memang
perbuatan yang berhasil mesti berpadu dengan pikiran berhasil pula. Jadi perbuatanlah
yang mempertalikan benda dasar dengan pikiran, yakni pada tingkat ke 2.48
Dari uraian Tan
Malaka di atas, dapat kita lihat bahwa pertalian antara basis dan gedung
pikiran itu bukanlah hubungan satu arah, melainkan dua arah. Seperti yang
dikatakannya, bahwa “pikiran, ide, atau paham
manusia itu dibentuk oleh keadaan masyarakatnya dan tidak hanya keadaan
masyarakat saja yang membentuk pikiran atau ide itu, tetapi juga sebaliknya
kelak pikiran atau paham dalam masyarakat itu melantun membentuk masyarakat
baru.”49 Hubungan basis dan gedung pikiran itu terhadap
sejarah dipertautkan oleh perbuatan atau tindakan masyarakat yang nyata.
Sedangkan perkembangan sejarah merupakan akibat dari perbuatan atau tindakan masyarakat
itu sendiri, maka jelaslah bagi Tan Malaka perubahan sejarah tidak hanya ditentukan
oleh dorongan faktor-faktor matter (bassis) saja, tetapi juga dengan adanya
dorongan pikiran rasional atau superstruktur. Begitulah Tan Malaka menganggap
perubahan sejarah ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor-faktor bersifat materi
(ril) juga dengan adanya pembentukan cara pikir yang rasional.
Lebih jelasnya, walaupun
faktor perhubungan kelas produksi menjadi faktor penentu yang utama terhadap
perkembangan sejarah, dan menekankan
faktor-faktor matter (ril) lainnya sebagai basis penentu perkembangan sejarah, namun
ia juga menekankan bahwa pikiran rasional (pembentukan mental idiologi) juga menentukan
perkembangan sejarah manusia. Dan dalam teori sejarah pertentangan kelas oleh
Tan Malaka, terdapat pertentangan ide (isme/paham) dalam pikiran masing-masing masyarakat
kelas yang saling bertentangan tersebut, yaitu pententangan antara isme dari
kelas tertindas berhadapan dengan mistifikasi isme dari kelas penindas, sebab itulah Tan Malaka menganggap perlunya alat
kecerdasan atau acuan berpikir rasional bangsa Indonesia sebagai senjata untuk
melawan mistifikasi klas penindas.51
Adanya bayangan pertentangan klas dalam
pikiran masyarakat pada teori pemikiran sejarah Tan Malaka, membuat ia terlihat
seperti seorang idealisme dan jauh
berbeda dengan seorang materialisme. Salah satunya dapat kita lihat dalam karyanya Aksi
Massa 1926. Pada bab penutup Tan Malaka menyatakan bahwa berpikir secara
rasional merupakan senjata yang harus dipakai masyarakat untuk mencapai
kemajuan. Tan Malaka menilai, adat/tradisi dan tahayul membunuh kemauan masyarakat
untuk mengadakan perubahan. Ia menuliskan bahwa imperialisme harus dihancurkan
dengan senjata berpikir revolusioner proletariat Indonesia yaitu materialism-dialektis. Dengan demikian
barulah Indonesi terbebas dari imperialisme. Pernyataan ini sama dengan apa
yang dikemukakan Tan Malaka 15 tahun kemudian pada Madilog 1943.52 Namun,
Tan Malaka tidak seperti idealis Hegel
yang mengabsolutkan ide, atau mengutamakan pengaruh ide (pikiran) atas benda.
Tan Malaka dalam pemikiran sejarahnya justru lebih seperti materialisme Karl-Marx yang mengutamakan pengaruh benda terhadap
pikiran. Namun, seperti yang dikatakan Tan Malaka bahwa Karl Marx itu tidak mengabsolutkan
pengaruh benda terhadap pikiran dan tidak meniadakan pengaruh pikiran terhadap
benda. Maka Tan Malaka berkesimpulan dengan hukum dialektika perlantunan dengan mendahulukan
pengaruh benda atas pikiran.
Tan Malaka melihat tanpa adanya
kecerdasan berpikir, maka kelas proletar Indonesia yang tertindas hanya
bersifat pasif atas keadaan yang menimpa mereka. Mereka bersikap pasif karna
telah termistifikasi oleh system penjajahan, adat dan kepercayaan lama yang membunuh
kemauan mereka untuk melakukan pergerakan revolusioner.53 Berpikir rasional juga untuk mengubah sifat feodal
bangsa Indonesia. Sikap feodalis telah melahirkan ententitas budak, membuat
Indonesia memiliki riwayat perbudakan yang panjang. Sikap feudal merupakan
sikap yang selalu ingin dihormati dan menghormati, misalnya orang yang strata
sosialnya lebih tinggi mengharapkan agar manusia yang ada dibawahnya bersikap
patuh, takut, tunduk, hormat dan merendahkan diri padanya. Begitu juga orang
yang strata sosialnya dibawah, mereka dengan sifat feodalnya dengan senang hati
mengabdikan diri pada yang di atasnya. Ini yang menurut Tan Malaka melahirkan
sikap budak. Ententitas budak ini kemudian melembaga menjadi fatalitas yang
akut.54
Adanya ententitas budak ditambah
lagi dengan adanya sikap mistik sebagai warisan budaya dan tradisi masa lampau,
bangsa Indonesia menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok
asing.55 Sikap feudal dan mistik
ini menurut Tan Malaka harus di tinggalkan bangsa Indonesia, karna sikap
tersebut membuat bangsa Indonesia mengalami riwayat perbudakan bangsa asing,
sehingga perkembangan sejarah masyarakat Indonesia tidak tumbuh dengan
semestinya. Untuk itulah pembentukan cara pikir yang rasional dianggap Tan
Malaka dapat merubah sikap feudal dan mistik masyarakat Indonesia tersebut. 41 Untuk itulah Tan Malaka menganggap
perlu adanya suatu buku sebagai acuan kaum Proletar tertindas untuk berpikir
rasional sebagai anti-thesis dari mistifikasi kapitalisme dan sikap feodal
bangsa Indonesia. Cara berpikir rasional itu dalam buku Aksi Massa (1926) dituliskan Tan Malaka sebagai materialisme dialektis, yang 15 tahun kemudian
hari dituangkan Tan Malaka dalam sebuah buku yang diberi judul Madilog (1943).
Untuk menuju masyarakat sosialis
dan merdeka, revolusi dirumuskan Tan Malaka dalam perjuangan kelas proletar
bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari kelas kapitalis bangsa
penjajah.56 Revousi kaum borjuis tak
bisa diharapkan terjadi di Indonesia, karna kaum borjuis islam bumi putra
Indonesia telah dilenyapkan terlebih dahulu oleh belanda saat berusaha
menguasai Indonesia. Kelas kapitalis (kaum bermodal) yang ada di Indonesia
adalah kapitalis Internasional dari bangsa asing. Pertumbuhan Industri dilihat
Tan Malaka hanya menguntungkan bangsa asing, karna kaum capital/pemodal-nya
dari bangsa asing, bukan dari bangsa Indonesia sendiri. Maka revolusi massa
proletar dianggap sebagai cara merebut kemerdekaan dari kapitalisme-imperialis
asing, serta menghancurkan sisa-sisa feodalisme.57
D.
POLA DAN TAHAP PERKEMBANGAN
SEJARAH MANUSIA
Herbert Marcuse, menggambarkan perkembangan masyarakat
modern sebagai suatu “proyek gagal” atas kebuntuan sejarah manusia. Tan Malaka menilai sejarah kemasyarakatan
sebagai sesuatu yang alami dan berproses yang mengarah pada suatu tujuan zaman
idealnya,59 Namun, pada karya Parlemen atau Soviet, Tan Malaka juga
mengatakan bahwa dalam proses sejarah klas juga terjadi pasang surut. Hukum
stadia Auguste Comte menggambarkan
sejarah manusia dalam tiga tahap perkembangan cara pikir masyarakat. Sedangkan Karl Marx menggambarkan sejarah sebagai suatu pola lurus tunggal yang mengarah
kepada suatu tujuan tertentu yang dapat diketahui sebelumnya. Spengler dan Toynbee telah mengemukakan
sejarah sebagai perkembangan sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap
dan selalu kembali. 60
Penulisan pemikiran Tan Malaka mengenai perkembangan
sejarah manusia, dapat kita temukan pada buku yang berjudul, “TAN MALAKA: Merajut Masyarakat dan
Pendidikan Indonesia yang Sosialistis.” Penulisnya, Syaifudin menyatakan
pembahasan buku tersebut berusaha melepas diri dari dominasi pembahasan sejarah
yang umumnya ditemukan pada buku-buku yang membahas Tan Malaka.[47] Pada
buku tersebut tipologi perkembangan sejarah kemasyarakatan Tan Malaka sebagai
dualisme pemikiran Karl Marx dan Auguste Comte, seperti pada gambbar berikut ini.
Penelitian mengenai pemikiran sejarah Tan Malaka ini,
membawa penulis pada hasil analisa dan keterangan yang berbeda dengan apa yang
ada pada gambar di atas. Menafsirkan tipologi perkembangan masyarakat Tan
Malaka sebagai dualisme dari pemikiran Marx
dan Comte, sama sekali bertentangan
dengan teori-teori pemikiran sejarah Tan Malaka, terutama dari hasil telisik
karya Madilog dan beberapa keterangan dalam karya Aksi Massa. Hukum stadia
Comte menggambarkan sejarah manusia dalam tiga tahap perkembangan cara pikir
masyarakat atau stadium rasio. Sistem lembaga-lembaga dianggap terbentuk
mengikuti perkembangan cara pikir masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan Tan
Malaka yang pada dasarnya menganggap bentuk sejarah menusia berupa
tahapan-tahapan zaman sistem kekuatan klas yang terbentuk sebagai akibat
terjadinya pertarungan klas dimasyarakat. Sistem kekuatan klas dalam suatu
zaman akan dirombak secara revolusioner oleh suatu klas yang kontradiktif,
sehingga membentuk zaman sistem kekuatan klas baru yang akan terus mengalami
proses perubahan-perubahan hingga mencapai bentuk zaman idealnya. Dalam pemikiran
perkembangan sejarah Tan Malaka, level awal dari sejarah manusia adalah masyarakat komunal, bukan masyarakat teologis seperti gambar diatas.
Secara garis besarnya, tahap perkembangan sejarah manusia
menurut Tan Malaka adalah masyarakat
komunal, masyarakat perbudakan (slaveri), masyarakat feudal, masyarakat
kapitalis, masyarakat sosialis, dan masyarakat
Federasi Sosialis. Yaitu seperti gambar berikut ini:

Namun menurut Tan Malaka,
perkembangan sejarah di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya, karna
Indonesia dalam kesejarahannya terus-menerus menjadi bulan-bulanan intervensi
bangsa asing. Maka, dilihat dari penjelasan-penjelasan sejarah dari karya-karya
Tan Malaka, proses sejarah Indonesia adalah; Masyarakat Komunal (ikatan Suku), masyarakat Semi Slaveri (Ikatan Adat), Masyarakat Feodalis (Monarki), Masyarakat
semi Kapitalisme (Semi-Imperialisme Hindia Timur), Masyarakat Kapitalis Muda (Imperialis-kolonialisme), Masyarakat Sosialis (Nasionalisme
Indonesia Sempit), Masyarakat Federasi
Sosialis (Aslia Nation). Seperti gambar berikut:
1)
Masyarakat Komunal (Ikatan
Suku)
Tan Malaka meletakan zaman
komunal (kelompok suku) sebagai level awal perkembangan sejarah manusia. Pada
karyanya, Pandangan Hidup, munculnya Zaman awal sejarah manusia dijelaskan
Tan Malaka sebagai akibat adanya relasi dialektis antara alam dan manusia, alam
memberi kontribusi tekanan pada manusia untuk membentuk dan mengembangkan suatu
kemasyarakatan guna keberlangsungan hidup mereka. Kebertahanan inilah yang
kemudian berekspansi menjadi kebudayaan yang tersistematis. Bentuk sistem
kemasyarakatan pertama tersebutlah dianggap sebagai Zaman awal Sejarah Manusia.
Dalam Madilog, penjelasan Tan Malaka mengacu pada asal masyarakat
Indonesia Asli yang datang dari gurun pasir Mongolia, akhirnya sebagian dari
mereka menetap dikepulauan Indonesia sekarang, mereka hidup dalam ikatan suku
dan secara garis besarnya kepercayaan yang mereka anut adalah animisme.[48] Bagi
Tan Malaka, sejarah benda lantai itu (sejarah masyarakat, ekonomi, politik)
membayang pada kepercayaan yang ada, dan kepercayaan animisme itu dikatakan Tan
Malaka cocok untuk masyarakat berkeluarga (berkelompok/komunal).[49]
Bangsa
Indonesia asli itu meninggalkan gurun pasir Mongolia menuju ke arah Selatan
sampai ke Tibet dan Yunan melalui pegunungan yang tinggi dan lembah yang curam,
mereka lambat laun sampai kebarisan gunung dibatas Birma dan Annam. Jalan biasa
yang mereka lalui adalah sungai Salweetn, Irawadi, Menam, dan Mekong. Setelah
melakukan perjalanan jauh, sampailah mereka ke Semenanjung Tanah Malaka.
Akhirnya dari sini mereka berhamburan ke kepulauan Indonesia sekarang, ke
Magadaskar disebelah barat dan Amerika di Timur. Perantauan jauh yang penuh
marabahaya alam itu dilakukan dalam abad yang belum mengetahui ilmu bukti dan
tehnik kemesinan. [50]
Masyarakat
pada masa itu, seluas-luasnya cuma tahu suku yang dikepalai Datuk (kepala
suku). Datuk ini bukanlah raja
melainkan pemimpin yang dicintai, karena ia terpilih diantara sanak saudara
sendiri. Pengikutnya bukanlah hamba (budak) atau rakyat, melainkan isteri,
saudara, anak dan keponakannya sendiri. Perhubungan pemimpin dengan yang
dipimpin ialah perhubungan bapak dan anaknya, atau nenek dan cucunya. [51] Kepercayaan
kejiwaan (Animisme) dalam garis besarnya di seluruh dunia cocok dengan
Masyarakat berkeluarga (komunal), Politik dipegang oleh Bapak, Mamak atau
Nenek. Pesawat ialah perkakas yang dijalankan dengan tangan atau kodrat alam
yang bersedia seperti angin dan air.[52] Artinya
untuk bertahan hidup di tengah tekanan ganasnya alam menuntut manusia-manusia
tersebut untuk hidup “berkelompok-kelompok” atau komune.
Tan
Malaka mengatakan pada permulaan sekali dari sejarah manusia sudah terjadi
division of Labour itu, yakni antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Yang
pertama kerjanya berburu atau menangkap ikan. Yang dibelakang tinggal di rumah
melakukan pekerjaan rumah, memasak, bertenun, menjahit, mencuci, menjaga anak
dan lain-lain. Pekerjaan yang pertama adalah lebih berat dan berbahaya dari
yang kedua. Walaupun banyak diantara kaum ibu yang berani, tetapi ada temponya
tiap-tiap ibu dalam kelemahan sendiri, ialah dalam keadaan mengandung dan
menjaga si anak yang lemah.[53]
Kepercayaan
masyarakat Indonesia Asli yang menurut Tan Malaka memiliki tiga ciri yaitu
animisme dinamisme dan daemonologi. Tan Malaka memberi penghargaan pada
kepercayaan tersebut karna merupakan dasar cara berpikir yang dilandaskan
materi. kepercayaan itu dapat diterima
dengan cara berpikir madilog-nya. Tan Malaka menolak jika kepercayaan tersebut
dianggap fiktif atau tidak dapat diterima secara intelektual seperti pada
konteks teologis Comte. Kepercayaan ini jelas didasarkan materi. Suatu
kekurangan dalam pengetahuan dan tehnik membuat orang melihat matter sebagai
bayangan yang dilemparkan keluar oleh kepercayaan dan tidak sebaliknya. Dalam
pandangan madilog, posisi matter tersembunyi pada kekuatan-kekuatan
masing-masing kepercayaan ini.[54]
Menurut Tan Malaka hal ini sesungguhnya dekat sekali pada ikatan matter dan
energy, yang diterima dalam cara pikir madilog. Tan Malaka mengatakan:
Kalau dipandang dari penjuru Ilmu Bukti dan ilmu alam
(Science dan Experiment) saya berani bilang, bahwa kepercayaan asli, dari
bangsa Indonesia asli itu sedikitnya sama tinggi, saya bilang terus-terang sama
tinggi, karena ada diantaranya yang bisa diuji dan sedikitnya tak bisa
dilemparkan begitu saja…
…Kesalahan kepercayaan Indonesia asli, berhubung
dengan dynamis tadi, ialah kodrat terkhsuus dari benda atau hewan dan manusia
dijadikan kodrat raya. Sifat atau undang terkhusus dijadikan sifat atau undang
umum. Jadi dalam kepercayaan pada kodrat semua benda ini, mereka memperlihatkan
kesederhanaan (pikiran primitive).[55]
Tan
Malaka mengatakan bahwa sebetulnya
penamaan kepulauan India, yang diringkaskan dengan kata Indonesia, tidak benar
dan terlalu sempit bila dilihat dari ilmu sejarah bumi serta ilmu kebangsaan
(Race Theory) dan kebudayaan (kultur/kepercayaan). Kesalahan nama Indonesia itu
menurutnya berasal dari pandangan ahli barat yang mencari rempah-rempah
dulunya. Kesalahan itu diterima oleh sebagian dari bangsa Indonesia, yang
menganggap India itu negara aslinya bangsa Indonesia Asli, karena dongeng
(bukan sejarah) seperti adat dan kesenian Indonesia yang dipengaruhi Hinduisme
mengatakan begitu, yang oleh Rakyat Indonesia lambat-laun diterima sebagai
sejarahnya sendiri. Mereka, lupa atau tak tahu, bahwa walaupun kebudayaannya
berasal sebagian besar dari Hinduisme, tetapi Jasmaninya sebagian besar berasal
dari Mongolia dan Tibet.[56]
Pada jaman
purbakala kepulauan Indonesia sekarang bersatu dengan Birma, Siam dan Annam di
Utara serta Australia di Selatan. Dalam ilmu sejarah bumi, Birma dan India
adalah dua bagian bumi yang berlainan bentuk dan hawa. Keduanya dipisahkan oleh
barisan gunung yang dahulu kala memustahilkan perhubungan Birma dan India
dahulunya, perhubungan hanya melalui lautan. Pada zaman dahulu kala dengan
jalan darat, Jawa dekat dari Birma. Dan menurut Ilmu Kebangsaan, yang
berdasarkan atas ukuran seperti tingginya badan, bentuk kepala dan muka, warnanya
kulit, mata, dan rambut, penduduk Birma, Siam dan Annam 100 % sama dengan
penduduk Indonesia dan hampir 100 % berlainan dengan penduduk India. Demikian
juga akhirnya kepercayaan asli penduduk Birma, Siam dan Annam. Kerpecayaan
penduduk asli Assam, bangsa Naga, Laos dan sebagainya berlainan dengan
Hinduisme dan sama 100 % dengan kepercayaan Indonesia Asli umumnya serta dengan
penduduk Indonesia sekarang seperti Dayak, Toraja dan sebagainya.[57]
Nama
Indoneia itu pincang dan sempit. Pincang, karena kepulauan Indonesia pernah
bersatu dengan Asia Selatan, tetapi tidak bersamaan dengan India. Nama yang
lebih cocok ialah kepualuan Asia-Australia bersatu dan baikpun menurut Ilmu
Bumi dan Ilmu Bangsa. Bagian bumi Birma, Siam, Annam dan Semenanjung Tanah
Malaka, yang semuanya termasuk benua Asia Selatan dan Kepulauan Indonesia
sekarang serta Australia Utara yang banyak mengandung persamaan dengan
kepulauaun Indonesia, dinamai oleh Tan Malaka dengan sebutan Aslia, ialah
kependekan dari Asia-Australia. Sedangkan Indonesia sekarang disebut Tan Malaka
sebagai Kepulauan Aslia.[58]
2)
Masyarakat
Semi Slaveri (Ikatan Adat)
Dalam
pengembaraan bertahun-tahun, barangkali beratus tahun itu banyak timbul
persoalan baru, pertarungan baru (perang suku) yang menuntut peraturan baru. Timbullah
aturan dan adat istiadat yang dibentuk oleh datuk yang memenangkan pertarungan.
Datuk tersebut akan menerima kehormatan, pujian dan cinta pengikutnya.[59]
Hal ini menunjukkan adanya penguasaan oleh suku yang menang berperang terhadap
suku-suku yang dikalahkan. Penguasaan itu melalui ikatan adat yang dibentuk
oleh kepala suku yang memenangkan perperangan. Namun, penulis tidak menemukan
sama sekali bahwa Tan Malaka mengatakan perkembangan ini beranjut pada
masyarakat perbudakan, ia tidak seperti yang diakukan bangsa Arya terhadap
Bangsa Dravida di India. Tan Malaka hanya mengatakan sang kepala suku itu
akhirnya mendapatkan kehormatan, pujian dan cinta dari pengikut-pengikutnya.
Namun
ada kemungkinan datangnya bangsa Indonesia Asli dari Mongolia telah mengalahkan
penduduk negrito yang ada di Indonesia. Berdasarkan adanya perang suku yang
dimenangkan suatu suku dan adanya ikatan adat sebagai suatu hukum yang dibentuk
kepala suku yang memenangkan pertarungan, maka penulis menyimpukan tahap ini
adalah masyarakat semi perbudakan.
3)
Masyarakat
Feodal (Monarki Feodal)
Perkembangan
dari masyarakat ke tahap feudal dikatakan Tan Malaka terjadi bukan karna
percaturan hidup bangsa Indonesia sendiri (melawan atau antara kelas-kelas),
tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar. Pengaruh hinduisme telah
dapat menciptakan masyarakat feudal di Indonesia. Animisme kesukuan, didesak oleh agama Hindu dan Budha. Bangsa itu
mengajarkan pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna.
Masyarakat komunal kesukuan berubah menjadi masyarakat feudal, keningratan di
pegang oleh raja-raja feudal. Namun peradaban ini masih jauh terbelakang dari
peradaban Yunani yang mengenal ahli-ahli sejarah dan orang-orang berilmu
pengetahuan tinggi. [60]
Tan
Malaka mengatakan bahwa sesudah dibawah pengaruh Hindu, kebudayaan bangsa
Indonesia bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian
itu berlangsung sesudah bangsa Indonesia bercampur darah dengan
penjajah-penjajah Asing. Tan Malaka mengatakan hanya sistem matriakhat
minangkabau yang dapat berfungsi sebagai demokrasi di Indonesia.[61]
Dengan
perdagangan, berdirilah kota-kota pelabuhan di Majapahit dan muncullah suatu
kelas menengah yang kemudian hari menuntut perubahan-perubahan politik sosial
dan budaya dari raja-raja feudal. Kedatangan pengaruh islam dan imigrasi cina
memunculkan gerakan borjuis Islam bumi putra yang menentang politik dan ekonomi
raja-raja feudal masa itu.[62]
Namun perkembangan ini terhenti ketika Belanda datang ke Indonesia, bibit-bibit
kapitallis bumi putra Indonesia dalam perjuangan borjuasi islam dihancurkan
oleh Belanda. Belanda akhirnya berkuasa dengan menggunakan jalan politik yang
licik.[63]
4)
Masyarakat
Semi Kapitalis (Semi Imperialis/Hindia-Timur).
Tan
Malaka mengatakan masa transisi dari masyarakat feudal ke masyarakat kapital
bermula dari berkembangnya perindustrian di Majapahit. Di Kerajaan Majapahit
berdiri beberapa perusahaan batik, genteng dan kapal dengan kapital yang cukup
besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya
telah ada yang dengan kapal-kapalnya berlayar sampai ke Persia dan Tiongkok.
Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik, Tuban,
Lasem, Demak dan Cirebon agaknya mereka adalah bangsa asing atau yang sudah
bercampur darah dengan orang-orang Jawa.[64]
Banyak
bangsa yang datang dan menetap di Pulau Jawa, dapat dibuktikan dengan perkataan
seorang pujangga Majapahit, bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya
manusia datang berduyun-duyun dari bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka,
Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai
tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama,
siap datang dijamu dan suka tinggal.”[65]
Penduduk
bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa memperoleh rintangan dari
kaum bangsawan feodal di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk
bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara
pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintah,
timbulah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan
pemerintahan. Namun Tan Malaka menyatakan dalang dari semua itu adalah
kepentingan bangsa asing.[66]
Seorang
keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama
yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu
penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi
boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu,
bumiputra bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu
sedang berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.[67]
Keadaan
bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan
terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden
Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal
itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan membawa paham baru (agama
Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir
itu berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak
berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya terpecah belah oleh perang
saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat. Jipang
bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar
atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing. Dalam waktu singkat berakhir dengan
kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.[68]
Masa
Transisi ini berlanjut tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia,
Tan Malaka mengatakan bahwa waktu itu negeri Belanda hanyalah negeri tani dan
tukang warung kopi yang kecil-kecil, atau hanya sebagai negeri tani dan
saudagar. Belanda tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang,
besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya
ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia. Dengan keberanian dan kemauan seorang
bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, kekayaan
Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi
bumiputra yang tersisa.[69]
Berbeda
dengan Kompeni-Hindia Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi
orang Jawa atau setidak-tidaknya terus tinggal menjadi penduduk bumi putra, tetapi bangsa Belanda
datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan membawa kekayaan indonesia.
Akibatnya, hancur dan keringlah ekonomi bangsa Indonesia.[70]
Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai
kemerdekaan. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa
itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah
dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban)
serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari![71]
Melihat
adanya pertentangan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, Belanda
mempergunakan jalan politik devide et
impera, memecah-belah dan menguasai, wiayah-wiayah Indonesia. Belanda
membantu salah satu diantara kerajaan yang bertikai, lalu berangsur-angsur
menguasai semuanya. Begitulah cara Belanda masuk ke Indonesia digambarkan Tan
Malaka. Yaitu dengan mengadu domba dan memanfaatkan pertikaian perang saudara
yang terjadi di Indonesia. Dan gerakan-gerakan borjuasi islam terus dihancurkan
oleh Belanda. Kedatangan Belanda telah mengakibatkan perkembangan kaum modal
(borjuis) bumi putra mengalami kemunduran dan tidak ada perkembangan sama
sekali. Masa transisi feudal menuju Kapitalisme digambarkan Tan Malaka berakhir
dalam perang Diponegoro seperti pada kutipan berikut:
…Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti
mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal
Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan
itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela
diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut
undang-undang alam. Saudagar di Bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli
oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari
Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan bumi putra,
baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat
meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju kapitalisme.
Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya;
begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.[72]
Perang
Diponegoro digambarkan Tan Malaka sebagai Perjuangan kesatria dengan niat
sanubari yang suci, namun ia tidak memiliki program politik dan ekonomi yang
jelas, ia diibaratkan Tan Malaka sedang "menolong perahu yang bocor",
yaitu kelas Feodal yang akan lenyap. Oleh karena itu ia disebut Tan Malaka
kontra-revolusioner karna ia bukan perjuangan kelas borjuis bumi putra
(kapitalis-nasional) yang jelas menentang feodalisme Mataram dan
kapital-imperialistis Belanda dengan menghidupkan kapital nasional Indonesia.
Dan Tan Malaka mengatakan bahwa borjuasi yang berbau ke-Islaman dalam lapangan
ekonomi justru telah lebih dahulu dihancurkan oleh Kapitalis-Imperialistis Belanda. [73]
Tan
Malaka mengatakan, seandainya saja Pulau Jawa waktu itu mempunyai borjuasi
nasional yang revolusioner dan Diponegoro itu berdiri sebagai borjuasi bumi
putra yang memiiki paham kebangsaan atau kapitalis-nasional, maka perjuangannya
melawan Mataram (Feodal) dan Kompeni Belanda (kapitalis-imperialis) dapatlah
tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi semua itu tidak ada,
akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun yang mampu, bagaimanapun
pintarnya, menolong satu kelas yang lemah (Feodal), baik teknik maupun ekonomis
melawan satu kelas yang makin lama makin kuat (kapitalis-Imperialis).[74]
Hal
diatas telah menunjukkan bahwa dengan masuknya pengaruh islam dan percampuran
bangsa asing (kompeni Hindia-Timur) dengan kaum bumi putra telah memunculkan
gerakan borjuis di Indonesia, namun perkembangannya terhenti karna masuknya
kompeni Belanda ke Indonesia. Pada uraian tahap masyarakat berikutnya akan
dijelaskan bentuk kapitalisme di Indonesia. Kapitalis Indonesia bukanlah
kapitalis-nasional, karna bibit-bibit tumbuhnya kapitalis-Nasional Indonesia
telah dibunuh oleh Belanda. Kelas borjuasi (pemilik modal) yang ada di
Indonesia hanyalah bangsa-bangsa barat yang berinfestasi di Indonesia. Karna
itulah Tan Malaka menganggap satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk
melawan imperialisme Barat yang modern. Yaitu kelas proletaris revolusioner
yang berjuang merebut kemerdekaan melalui revolusi konfrontasi. Mengharapkan
revolusi kaum borjuis nasional tidaklah mungkin karna kaum borjuis atau
kapitalis (pemodal) bumi putra itu telah hancur, kaum modal yang berkuasa
adalah kelas modal kapitalis Internasional. Perjuangan diplomasi dianggap Tan
Malaka tidak mungkin dilakukan, karna hanya akan memperkuat kapitalis
Internasional.
5)
Masyarakat Kapitalis Muda
(Imperialis-Kolonialisme).
Tan Malaka mengatakan
Kapitalisme di Indonesia tidak tumbuh dengan semestinya. Ia tidak sama dengan
kapitalisme di Eropa dan Amerika Utara, kapitalisme di Eropa dan Amerika tumbuh
dan dibesarkan dalam negerinya sendiri. Cara produksi mereka yang tua
berturut-turut digantikan oleh yang muda. Kapitalisme Eropa dan Amerika Utara
adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan kearah kemajuan
itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.[75] Sedangkan
kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra
yang menurut kemauan alam. Kapitalisme Indonesia hanyalah perkakas Imperialis
asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang melalui kekerasan
menghancurkan sistem produksi kapitalis bumi putra Indonesia sendiri.[76]
Sebagian besar bangsa
Indonesia digambarkan Tan Malaka adalah kelas proletaris, yaitu buruh dan tani
yang diperbudak asing, [77]
sedangkan kelas pemilik modal atau borjuis Indonesia justru telah diperlemah
dan dihancurkan penguasa kolonial Hindia-Belanda. Politik perampok bangsa
Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang modern.
Hongi-hongi cultur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada
ampunnya. Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai
teknologi, tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.
Maka kapital Indonesia akan tumbuh dengan teratur pula antara lapisan-lapisan
sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia
yang dulu kecil tentu akan menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang
besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu kecil
tentu akan menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi
imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa
Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme
kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.[78]
Tan Malaka mengatakan,
kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang
mengeluarkan barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas
pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa mengeluarkan beras,
sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain. Jadi dalam pemandangan
ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota.
Barang-barang kota yang berlebih yakni barang itu dipandang penduduk kota
sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih
itu. Begitulah gambaran yang digambarkan Tan Malaka tentang perkembangan
kapitalisme di Amerika pada tahun 1913, perbandingan antara barang-barang
industri dengan pertanian, harga pasar antara kedua barang itu hampir sama. [79]
Di Indonesia sebagai akibat
kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas
keadaannya. Kota-kota Indonesia tidak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari
teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk
desa maupun untuk perdagangan luar negeri, ia tidak pula dari
kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga,
bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi
didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis.
Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk
mereka sendiri pun tak mencukupi, beras justru didatangkan dari luar, meskipun
bangsa Indonesia umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat
untuk menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan
berasnya yang berebih. Desa-desa di Indonesia mengeluarkan gula, karet, teh,
dan lain-lain barang perdagangan yang hanya mengayakan saudagar asing, tetapi
memiskinkan dan memelaratkan kaum tarsi. Kota-kota di Indonesia tidak menjadi
pusat ekonomi bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi
yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.[80]
Tan Malaka menegaskan bahwa
kapitalisme Indonesia itu adaah kapitalisme Internasional, bukan kapitalisme
nasional karna pemilik modal Industrinya bukan kelas borjuis bumi putra,
melainkan investor dari bangsa asing. Disamping itu, perindustrian belanda juga
kurang di Indonesia karna akibat dari tindakan Belanda itu sendiri. Kapital
Inggris justru mendapat peranan besar di Indonesia. Tan Malaka mengatakan,
“Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum
ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah perang dengan Napoleon
berhenti, Inggris mengembalikan semua wilayah koloni Indonesia pada Belanda.”
Tan Malaka menilai perbuatan Inggris itu adalah politik Inggris yang
selicin-licinnya, karna Tan Malaka melihat perbuatan inggris tersebut sangat
bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai oleh Inggris, dan
semurah-murahnya Inggris telah menjadikan Belanda sebagai alat opas untuk
kapital yang ditanamnya di Indonesia. Tan Malaka menuliskan sebuah pertanyaan,
“Apakah pengambil alihan seluruh administrasi (oleh Belanda) yang ada di
Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada Inggris?”[81]
Kapital (investasi modal/industri)
Inggris yang dalam beberapa tahun makin besar di Indonesia, hal itu sangat
mengkhawatirkan bagi Belanda, disamping bangsa Indonesia sudah tak sabar lagi
(Indonesia ini digambarkan Tan Malaka seperti Kerbau yang ditendang Belanda dan
kerbau itu akhirnya mulai memperihatkan tanduknya pada belanda), hingga Belanda
berniat memakai "politik pintu terbuka". Istilah yang sebenarnya
diambil Tan Malaka dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan politik Belanda
di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: "Dan terhadap kapital
Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga dari tidurnya, semestinya
Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis. Tetapi negeri ini
mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam di Indonesia dengan segala daya
upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya,
kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda".[82]
Uang dan susah payah tak
diperhitungkan Belanda demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah berkata
terus terang di dalam kamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah
karena undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun
1923, dan kedatangan beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang
konsul jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan
dan perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah
yang selama bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the
Wonderland). Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis
Amerika supaya datang berduyun-duyun berinvestasi ke Indonesia.[83]
Begitulah kiranya dalam
sejarah, video-video dokumenter yang dulunya dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda, tentang buruh-buruh perkebunan, keindahan-keindahan alam Indonesia,
dan lain sebagainya, semua itu dibuat oleh Belanda tidak lain dengan tujuan
untuk menarik infestasi asing ke Indonesia atau menanamkan kapitalis asing di
Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka adalah untuk menyaingi
kapitalis Inggris yang semakin besar di Indonesia dan melemahkan bangsa
Indonesia yang mulai memperlihatkan tanduknya.
Menurut Tan Malaka
kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah
mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan (25
tahun sebelum ditulisnya buku Aksi Massa 1926) baru dimulai industrialisasi di
Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin yang modern dalam
perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah. Industri
Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di
beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan
mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera,
Borneo (kalimantan), Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu
tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan
sudah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali
Sumatera, masih rimba raya.[84]
6)
Masyarakat Sosialistis
(Nasionalisme Indonesia Sempit)
Tahap seanjutnya adalah
Masyarakat Sosialis Merdeka, ini sesuai dengan garis perjuangan Tan Malaka,
yaitu perjuangan revolusi kelas proletariat melaui konfrontasi menuju Indonesia
yang merdeka dan sosialis. Tan Malaka menganggap perjuangan diplomasi sama sekali
tidaklah bisa diharapkan, karena kelas borjuis kapitalis bumi putra yang hanya
sebagian kecil saja telah lemah, sementara kelas borjuis yang berkuasa atas ekonomi adalah bangsa kapitalis
Internasional dan sebagian besar bangsa Indonesia adalah kelas proletar, yaitu
buruh dan tani. Maka dari itu garis perjuangan Tan Malaka adalah perjuangan
kelas proletariat bangsa Indonesia yang terjajah melawan kelas borjuis
Imperialis-kapitalis bangsa asing. Melalui itulah akan tercipta Negara
Indonesia yang merdeka dan sosialistis.
Tan Malaka mengatakan bahwa
revolusi Indonesia akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata
seperti yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan Filipina, yaitu borjuasi
bumiputra merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan parlemen) karena kapitalis
nasionalnya kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak daripada di
Indonesia. Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan
sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga
didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan
menghina mereka.[85]
Pati revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk
oleh kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan
tani). Benteng-benteng politik, terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya
dapat dipukul oleh kaum buruh. Di sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi
kecil yang mundur maju tak pungguh hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka
tahu akan memperoleh kemenangan itu pun di belakang sekali. Pun kalau mereka
sungguh suka turut. Lebih dari itu "tidak" dan jangan diharap).
Revolusi Indonesia yang memperoleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang
tepat dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis
menghadapi krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang
peran yang terpenting.[86]
7)
Masyarakat Federasi
Sosialis (Nasionalisme Aslia).
Dalam karya Madilog-nya
1943, Tan Malaka mengusulkan tujuan sejarah
di masa depan yaitu Indonesia yang merdeka dan sosialistis. Rakyat Indonesia
Asli, yang dulu terdapat di seluruh Asia Tenggara akan bersatu kembali pada
masyarakat Indonesia yang sosialistis. Yaitu, suatu federasi yang mempersatukan
Filipina, Muangthai, Birma, Malaka, Indonesia sempit dan Australia daerah
tropis, dibawah nama Federasi Aslia[87]
dan 15 tahun sebelumnya didalam buku Aksi
Massa tahun 1926, ini dituliskan Tan Malaka dengan sebutan FRI (Federasi Republik Indonesia).[88]
Tan Malaka menekankan
pentingnya Sumatra untuk masa depan. pada masa lampau Sumatra paling maju dalam
hal ekonomi dan kebudayaan. Mengenai kebudayaan, Jawa telah mengambil alih
obornya tetapi inipun akan kembali lagi pada Sumatra, ke poros Bonjol Malaka.[89] Tetapi
di sini pun Tan Malaka setia pada asal keturunannya. Dalam fasafah Minangkabau,
alam Minangkabau merupakan pusat dunia dan di sekitarnya adalah daerah rantau. Pusat Aslia, pusat perkembangan
teknologi yang dianggap begitu penting oleh Tan Malaka, terbentuk oleh poros
Bonjol-Malaka. Terpilihnya Bonjol sebagai titik akhir poros itu memperkuat
kaitannya dengan nilai-nilai Minangkabau. Jadi, cara berfikir Tan Malaka masih
tetap bertolak dari alam Minangkabau sebagai titik sentral dan dari dinamisme
dalam hubungan alam-rantau. Nasionalisme-Indonesianya atau nasiomalisme-Aslianya
tetap mengandung nada ini. Dalam Madilog, disebutkannya berulang kali superioritas
Sumatera pada masa lampau dan masa depan. Dalam bab penutupnya hal ini dapat di
tunjukkan beberapa kali. Dalam hal ekonomi dan kebudayaan Jawa harus tunduk
pada Sumatera.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
…….
DAFTAR
PUSTAKA
Tan Malaka, 1951.
MADILOG, Tan Malaka 1943. Jakarta: Widjaya (Merupakan file pdf. Kontributor:
Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague, dimuat di MIA pada tanggal
13 Juni 2007).
Tan Malaka, 2000. AKSI MASSA. Tan Malaka 1926. Jakarta:
Teplok Press. (Merupakan file pdf, dimuat ke HTML Oleh Ted Crawford dan Ted
Sprague).
Poeze, Harry A, 1999. Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik
1925-1945. Jakarta: Grafiti.
Nasir Zulhasril, 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di
Indonesia, Malaysia dan Singapura. Yogyakarta: Ombak.
Saifudin, 2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan
Pendidikan Indonesia yang sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Susilo, Taufik Adi, 2008.Tan Malaka Biografi Singkat. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Abdurrahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta;
Yayasan Bentang Budaya.
Taufik Abdulloh dan
Abdurrachman Surjomihardjo, 1985. Ilmu
Sejarah dan Historiografi, Jakarta: Gramedia.
Tan Malaka, Dari Penjara Ke
Penjara, Jilid III (TePLOK PRESS, 2000).
Friedrich Engels, Ludwig
Feuerbach and The End of Classical German Philosophy (Moskow. Foreign Languages
Publishing House, 1962).
[1]Harry
A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju
Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. viii-ix
[2]Zulhasril
Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri
Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007),
Hlm. XII
[3]
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 10
[4]
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 70-74
[5]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 273
[6]Syaifudin
, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan
Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)
hlm 10-11
[7]
Syaifudin , “Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang
sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm76-77
[8]
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 71
[9]
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 70-74
[10]Syaifudin,
Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan
Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),
hlm 76
[11]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xxiii-xxviii
[12]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123
[14]
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 139-140.
[15]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page 106-108
[16]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 107-108.
[17]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 108
36
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 6.
37
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 6-7.
[18]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm 292
[19]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page 101-104
[23]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 21.
[24]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 122
[25]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 253-254.
[26]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 274-275.
[27]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 293
[28]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 56.
[29]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 257-258.
[30] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju
Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999).
[31]
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012). Hlm. 6.
[32]
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura, (Yogyakarta, Ombak,
2007).
[33]
Taufik Adi Susilo, Tan Malaka Biografi
Singkat. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
[34]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 201
[35]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm.
201-202
[36]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm.
202-203
[37]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 204
1
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 49
2
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 53
3
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. viii
4
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 9
5
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 54
6
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara:
Jilid 1 (Jakarta LPPM Tan Malaka, 2007), hlm.21
7
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 14
9
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 27
10
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 27
11
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 57
12
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 28
13
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 57-58
14
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiii
15
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 58-59
16
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiii
19
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XV
18
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiv
20
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 59
21
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 59-60
22
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 35
24
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII
25
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII
29
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012) hlm 10-11
30
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 273
27
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 60.
31
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 41-42
28
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 61.
33
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII-XX
32
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 43-44
34
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 44
35
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 45-46
39
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 47.
36
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm 71
37
Muhammad Yamin, Tan Malaka: Bapak
Republiek Indonesia, (Jakarta: Yayasan Massa, 1990), hlm. 28-29.
38
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 3-4.
40
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut
Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 61.
41
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 12
42
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 47-48.
43
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 38-45
44
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 45-46
45
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 75-77.
46
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm. 49
47
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 99-100
48
Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 63
49
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm.50
51
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 271-272.
52
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm . 274.
54
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 276-277.
55
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 304-308.
56
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 76
57
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xxiii-xxviii
58
Tim Buku Tempo, Pokok-pokok Ajaran Tan Malaka: Murbaisme (Jakarta: Partai
Murba, 1960), hal. 2
59
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 77
5
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta:
Wijdaya 1951) , page. 185
10
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 92
11
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat
dan Etika (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm. 106.
12
Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara, Jilid III (TePLOK PRESS, 2000), hlm. 32
13
Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy
(Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962), hlm. 361.
14
Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy
(Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962), hlm. 373.
15
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 94-95.
16
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 95.
18
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm . 96
19
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 96.
20
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 97.
21
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 98.
22
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 97.
4
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 100
60
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan
Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak,
2007), Hlm.
23 Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) hlm.
7
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 291-292.
8
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 281.
9
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 291.
24
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 259.
[38]
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123
[41]
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 139-140.
[42]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 107-108.
[43]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 108
[44]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page 106-108
33
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page.106-107.
34
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 107.
35
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page.107
36
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 6.
37
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 6-7.
[45]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm 292
[46]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page 101-104
40
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page.
108
50
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 140-141.
45
Karl Marx and Friederich Engels, The
German Ideologi (New York: Internasional Publlisher, 1947), hlm. 12-14.
46
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 101.
47
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 97-98
48
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 100.
49
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951), page. 101-104.
51
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 89-90.
52
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 294-295.
53
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 90.
54
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 108.
55
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 31.
41
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm 41
56
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm.
57
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 3-5.
59
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 156.
60
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm.
123-124.
[47]
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 6.
[48]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 253-254.
[49]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 274-275.
[50]Tan
Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 253
[51]Tan
Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 253-254.
[52]Tan
Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 275.
[53]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 122.
[54]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 251.
[55]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 250.
[56]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 247-248.
[57]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 247-248.
[58]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 247-248.
[59]
Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 253.
[60]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm 9.
[61]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 9.
[62]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10.
[63]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 11.
[64]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10.
[65]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10.
[66]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10.
[67]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10.
[68]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 10-11.
[69]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 17-18.
[70]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 18.
[71]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 11.
[72]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 11.
[73]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 12.
[74]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 12.
[75]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 20,
[76]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm.20.
[77]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 3-5.
[78]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 21.
[79]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 20.
[80]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 20.
[81]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 21.
[82]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 21-22.
[83]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 22.
[84]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 19.
[85]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 40.
[86]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 40.
[87]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 293
[88]
Tan Malaka, Aksi Massa pdf (Teplok
Press, 2000), hlm. 56.
[89]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar