Sabtu, 30 April 2016

PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA (BAB III)


BAB III 
PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA 
A.   LATAR BELAKANG SOSIO HISTORIS PEMIKIRAN TAN MALAKA
    ...................................................
B.   EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN TAN MALAKA
            Analisa mengenai konstruksi pemikiran sejarah Tan Malaka disini lebih didasarkan pada upaya menelisik karya Madilog (1943). Sebab, disamping Madilog merupakan opus magnum pemikiran Tan Malaka sebagai hasil pengembaraan keintelektualannya, pada buku tersebut teori-teori pemikiran sejarah dipaparkan Tan Malaka lebih lengkap dan lebih jelas dibanding karya-karya lainnya. Madilog merupakan akronim dari Materialisme-Dialektika-Logika. Tan Malaka sendiri menyebut karya terbesarnya ini sebagai cara berpikir baru, sebuah pusaka warisan dari dunia Barat yang telah ia olah kembali sedemikian rupa, disesuaikan dengan situasi dan kondisi objektif rakyat Indonesia.
            Ditinjau dari Madilog, filsafat Tan Malaka berada pada aliran materialisme. Fokus analisis filsafat materialisme didasarkan pada permulaan materi atau kebendaan yang nyata. Materialisme yang dimaksud Tan Malaka adalah materialism-historis dan materialism-dialektis yang bersumber dari pemikiran Karl Marx.5 Dilihat dari sejarah perkembangannya, Filsafat materialisme sudah ada semenjak zaman yunani kuno, salah satu tokohnya adalah Thales. Materialisme diartikan sebagai pandangan empiris (indrawi) yang pada intinya menganggap realitas merupakan permulaan materi (benda nyata). Misalnya Thales menganggap asal mula alam adalah air.10 Pada abad pertengahan filsafat materialisme ini mengalami perkembangan disaat dogma agama (gereja) mendapat perlawanan dari orang-orang rasional. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Menurut Hobbes realitas adalah sesuatu yang bersifat bendawi. Lebih lanjut Hobbes menambahkan, yang ada adalah materi fisik, dan segalanya hanya dapat diterangkan sebagai materi yang bergerak. Menurut Juhaya S.Praja, Hobbes dapat dikatakan sebagai penganut materialisme. Maka dari itu, ajaran Hobbes merupahan materialisme pertama dalam sejarah modern.11
            Kemudian sekitar abad 18 paham materialisme mulai tumbuh subur di Negara-negara barat. Hal ini disebabkan banyaknya para filsuf yang menganut paham tersebut. Filsafat materialisme sendiri merupakan anti thesis dari aliran filsafat idealisme. Idealisme merumuskan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran, akal atau ruh dan bukan didasari atas permulaan materi atau kebendaan. Filsafat idealisme memosisikan akal terlebih dahulu daripada materi. Maka dari itu, diantara aliran materialisme dan idealisme terjadi perbedaan prinsip dan perseteruan. Mengenai perseteruan tersebut, Tan Malaka mengatakan;
Kaum filsafat itu terbagi dua, sebagai akibat dari pertentangan jawab yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi: “mana yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan ide (paham)?.12
            Setelah Hobbes, di abad 18 regenerasi perdebatan ini dilanjutkan oleh filsuf besar Jerman, Ludwig Andreas Fon Feuerbach (1804-1872) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Disini Hegel sebagai penganut idealisme merumuskan prinsipnya bahwa “semua yang nyata adalah rasional dan semua yang rasional adalah nyata.” Hegel, menganggap bahwa sesuatu tentang dunia dan sejarahnya berkembang dari suatu yang nonmaterial atau yang real dan merupakan produksi dari ide bukan indriawi.13 Sedangkan rumusan Feuerbach sebagai penganut filsafat materialisme berbanding terbalik dengan rumuskan Hegel. Feuerbach menyatakan bahwa yang real merupakan produksi dari indriawi (materi/benda), bukan dari ide. Feuerbach mengungkapkan “materi bukan produk dari pikiran, tetapi pikiran itu hasil tertinggi dari materi.”14
            Perdebatan antara Hegel dan Feuerbach, kemudian menggerakkan analisis kritis Karl Marx. Analisis kritis ini kemudian melahirkan sintesis pemikiran Marx, yaitu materialisme historis dan materialisme dialektis. Metode dialektis diadopsi oleh Marx dari pemikiran Hegel. Dan dari Feuerbach, Karl Marx memahami prinsip materialisme15. Filsafat materialisme Karl Marx kemudian melahirkan banyak tesis dan pemikiran-pemikiran baru, baik di bidang agama, social, ekonomi dan filsafat, karena menjadi dasar analisis tokoh-tokoh pemikir dikemudian hari, kususnya golongan kiri, pemikiran Marx yang banyak menjadi pijakan pergerakan, yaitu “Manifest der Kommunistischen” (manifesto partai komunis) yang terbit pada 21 Februari 1848.16 Pemikiran Karl Marx kemudian oleh Friedrich Engels dilembagakan menjadi sebuah ideology yang bernama Marxisme dan penganutnya disebut dengan nama Marxis. Ajaran Marxispun menyebar seantera dunia.18
                Pemikiran Marx kemudian semakin ideologis dan politis saat kembali mendapat perwajahan dari Vladimir Lenin. Berangkat dari tesis Karl Marx tentang filsafat yang tidak hanya ditafsirkan, tetapi mengubah dunia. Lenin menggunakan Marxisme sebagai penyemangat kaum buruh untuk melakukan revolusi Rusia pada 1917, dan revolusi Rusia pun berhasil. Dengan demikian, Lenin membuktikan tesis Marx tentang revolusi proletar bukan suatu yang utopis (hayalan). Berkat keberhasilan Lenin, lahirlah ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pijakan ideologi bagi kaum komunis dunia.19
            Lenin mengembangkan organisasi yang bernama Komunis Internasional (Comintern) sebagaimana yang telah digagas oleh Marx. Komintern pun semakin luas menyebarkan ideologinya di seluruh dunia yang sedang mengalami penindasan imperialisme dan kapitalisme di abad ke-19, salah satunya Indonesia. Sneevliet adalah salah satu tokoh yang memberi andil besar dalam perkembangan ideologi komunis di Indonesia. Melalui organisasi yang didirikannya pada 1914 di Semarang, yaitu Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia, ideologi komunis di Indonesia semakin berkembang. ISDV beranggotakan orang-orang Belanda (diantaranya Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder serta Douwes Dekker) dan orang-orang Indonesia (seperti Semaun, Alimin dan Darsono). Dengan adanya ISDV kususnya bagi golongan pribumi yang radikal, benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme Belanda semakin terorganisasi.20
            Pada 23 Mei 1920 di Semarang, Semaun dan Darsono mempelopori mengubah ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI menjadi organisasi komunis pertama di wilayah Asia. Berdirinya PKI menunjukkan bahwa ajaran Marxisme-Leninisme sudah meluas di Indonesia. Selain PKI, organisasi Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan Tjokroaminoto juga memakai referensi-referensi Marxisme, salah satunya menurut Sneevliet yaitu Das Kapital-nya Marx.21 Semaun merupakan ketua PKI pertama yang melakukan propaganda dan agitasi untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Dan melalui Semaun, analisis dan gagasan Tan Malaka tentang Marxisme yang sebelumnya ia dapat saat bersekolah di negeri Belanda semakin terkonstruksi kuat.22
            Namun secara kontekstual, Tan Malaka bukanlah pemikir Marxis yang konservatif. Berdasarkan pertimbangan kondisi objektif nilai-nilai ke-Indonesiaan, Tan Malaka meramu Marxisme Indonesia berupa materialisme, dialektika dan logika yang disingkat Madilog.4 Prinsip Madilog adalah materialism dialektis dan materialism historis, yang berasal dari pemikiran Karl Marx.60
Menelan saja semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di  Rusia tahun 1917 ataupun oleh Marx pada pertengahan abad  ke-19 dan melaksanakan putusan Marx dan Lenin di tempat dan tempo berlainan itu di Indonesia ini tanpa mengupas, menguji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek, membeo, meniru-niru. Marxisme bukanlah kaji hafalan (dogma), melainkan petunjuk untuk aksi revolusioner. Semua bukti revolusi Indonesia dan kesimpulan yang menentukan siasat revolusi Indonesia mesti ditimbang sendirinya satu-persatu menurut nilainya masing-masing.23
            Dengan menyebut materialisme, Tan Malaka tidak serta-merta mengacu pada paham materialisme dialektika Marxian.  Materialisme pada Madilog adalah cara berbikir yang konsisten mencari penjelasan atas apapun dengan cara-cara yang ilmiah. Tan Malaka mencontohkan cara berpikir materialisme dengan menguraikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kongkrit, yang semuanya berdasarkan rasionalitas dengan mengutip banyak sekali penemuan Sains. Materialisme Tan Malaka bukan terutama propaganda pro kebendaan, melainkan lebih merupakan kampanye anti mistifikasi pandangan mistik dan tahayul yang jauh menghujam dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Madilog merupakan senjata melawan pola pikir mistik dan tahayul yang menjadi ciri khas berpikir Timur yang pasif akibat tradisi dan kepercayaan yang mewariskan impian-impian, mitos-mitos dan khayalan.7
            “Hukum berpikir logika”, dijelaskan Tan Malaka sebagai metode berpikir yang memadai untuk menyelesaikan persoalan yang dapat dijawab benar atau salah, ya atau tidak. Yakni, persoalan-persoalan yang bersifat pasti dan kebenarannya tidak bisa dibantah, diantaranya persoalan matematika, benda dan sifat benda. Namun, ketika kita dihadapkan dengan persoalan yang melambung pada relatifitas dan filsafat, maka penggunaan hukum berpikir logika tidak memadai lagi. Pada teori Relativitas, perkara tempo atau waktu ini dikatakan Tan Malaka penting sekali. Persoalan yang berhubungan dengan faktor tempo atau waktu, erat kaitannya dengan perkara sejarah. Adapun perkara yang mengandung unsur waktu, seperti kemasyarakatan, politik, ekonomi dan sebagainya diselesaikan dengan “hukum berpikir dialektika”. Lebih teoritisnya, hukum berpikir dialektika digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan waktu, hubungan kena mengena, seluk beluk, pertentangan, gerak, perkembangan, perubahan, kemasyarakatan dan sebagainya. Demikianlah hukum berpikir dialektika menyelesaikan persoalan diatas level hukum berpikir logika.8
            Jika Materialisme merupakan cara berpikir yang dibela dan ingin disemaikan Tan Malaka, maka dialektika dan logika merupakan cara berpikir yang disusunnya sesuai dengan filsafat materialisme dan ilmu pengetahuan. Dan pada dasarnya, ketiga komponen Madilog 1943; materialisme, dialektika dan logika, merupakan hukum berpikir guna memperbaiki cara berpikir timur yang tidak realistis.9 Nalar yang dikembangkan Tan Malaka cukup jelas, sederhana dan sistematis, sehingga tidak mustahil Madilog dapat dipahami, bahkan oleh orang-orang yang dengan mentah-mentah menampik paham Materialisme.

C.     TEORI-TEORI PEMIKIRAN SEJARAH TAN MALAKA
            Ciri khas dari karya-karya Tan Malaka selalu diawali dengan penjelasan sejarah, kemudian logika dan selanjutnya dialektika. Hal yang menunjukkan sistematisnya Tan Malaka menjelaskan pemikiran dalam karya-karyanya. Tan Malaka mengatakan; “Ilmu sejarah itu penting sekali untuk suatu masyarakat. Masyarakat sekarang merupakan akibat dari masa yang telah lampau. Masyarakat yang akan datang merupakan akibat dari apa yang terjadi sekarang, yang berkewajiban memperbaiki masyarakat sekarang, mesti mengetahui keadaan masyarakat tersebut (di masa lampau dan sekarang)”. 24
            Pemikiran sejarah Tan Malaka merupakan refleksi dari teori-teori yang sudah berkembang, suatu evaluasi kritis yang dilakukan Tan Malaka terhadap berbagai pemikiran, khususnya pemikiran Hegel, Marx dan Feuerbach. Bila kita telisik madilog (1943), terlihat bahwa Tan Malaka lebih mendasarkan pemikiran sejarahnya pada pemikiran-pemikiran  Karl Marx, yang merupakan pemikiran filsafat sejarah. Filsafat  sejarah pada umumnya, mengarah pada usaha memberi keterangan dan tafsiran luas mengenai perjalanan sejarah. Ia secara khusus berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa arti (makna dan tujuan) sejarah?” atau “hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Penyajian sejarahnya memberikan laporan tentang masa lalu manusia yang memperlihatkan gejala bahwa masa lalu membentuk diri sesuai dengan kodrat dan prinsip-prinsip pokok tertentu yang sah secara universal, dalam konsepsi yang mungkin dapat diterima secara intelektual ataupun moral mengenai perjalanan sejarah sebagai suatu keseluruhan. Para filsufnya berusaha melayani tuntutan bahwa tafsiran mereka memungkinkan kita untuk dapat meramalkan perkembangan masyarakat di masa depan.[38]
            Didasarkan pada hukum dialektika-materialis, Tan Malaka memberi gambaran terjadinya alam semesta, dari penjelasan atom-atom ke alam raya dan tata surya, sampai pada kondisi kulit Bumi memungkinkan untuk munculnya kehidupan, proses berlanjut ke evolusi kehidupan Darwinisme, seleksi alam, serta munculnya zaman awal sejarah manusia dan perkembangannya.[39] Mengenai proses terbentuknya alam raya, Tan Malaka menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara teori Ilmu Bukti peralaman dengan pemahaman Agama. Tan Malaka mengingatkan pembaca agar tidak mencampur adukkan Ilmu Bukti dan Agama:
“Sangat jauh bedanya peranggapan ahli bintang zaman sekarang dengan ahli agama. Hendaknya pembaca anggap Ilmu Bukti tinggal Ilmu Bukti dan Agama tetap Agama.”[40]
                Secara teoritis, dialektika-materialisme Tan Malaka memposisikan matter atau benda nyata dan pergerakannya sebagai bentuk dasar dari sejarah. Makna sejarahnya lebih menekankan bahwa masa lalu merupakan realitas fakta berupa dinamika pergerakan benda nyata, meliputi perkembangan dan perubahan bentuk dan juga sifatnya, sedangkan mistik dan kegaiban dianggap tidak memiliki peran dalam perjalanan sejarah. Jelasnya, sejarah bagi Tan Malaka berupa realitas yang bersifat nyata diluar tahayul kegaiban.
            Dari sejarah alam raya ke sejarah manusia. Tan Malaka menjelaskan sejarah manusia sebagai perkembangan sistem kemasyarakatan yang pada hakikatnya mengalami perkembangan berkelanjutan, hingga membentuk suatu kronologis dari perjalanan menyejarah manusia yang terdiri dari level zaman sistem kekuatan klas yang terus berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap menuju zaman masyarakat idealnya. Pada karyanya, Pandangan Hidup, munculnya Zaman awal sejarah manusia muncul sebagai akibat adanya relasi dialektis antara alam dan manusia, alam memberi kontribusi tekanan pada kehidupan manusia, hingga manusia membentuk dan mengembangkan suatu sistem kemasyarakatan guna keberlangsungan hidup mereka. Bentuk sistem kemasyarakatan pertama tersebutlah yang dianggap sebagai Zaman awal Sejarah Manusia.[41] Alam membentuk manusia dan sebaliknya manusia berkontribusi membentuk alam dan masyarakatnya.
            Sejarah manusia dibentuk oleh pertarungan klas yang memajukan masyarakat dari suatu zaman sejarah, ke tingkat zaman yang lebih tinggi. Pertarungan klas di Zaman Masyarakat Perbudakan menggerakkan perkembangan sejarah menuju Masyarakat Feodolisme, pertarungan klas di Zaman Masyarakat Feodalisme membentuk perubahan sejarah menuju Masyarakat Kapitalisme, dan seterusnya.[42] Dalam proses ini berlaku Thesis, anti-Thesis dan Synthesis; massa klas yang tertindas melakukan perombakan secara revolusioner sebagai anti-thesis dari sistem kekuatan kelas lama, menuju sistesisnya; zaman kekuatan kelas baru yang revolusioner.[43]
            Tan Malaka mengatakan bahwa manusialah yang membentuk dan merubah sejarahnya sendiri, namun bukan berarti sejarah ditentukan oleh kehendak individu manusianya, melainkan menurut faktor-faktor nyata dimasyarakat. Analisis perkembangan sejarah kemasyarakatan Tan Malaka, menempatkan “perhubungan klas” sebagai faktor dasar yang utama. Dijelaskan Tan Malaka dengan sebuah thesis yang berbunyi; “Jumlah Perhubungan klas yang ada dimasyarakat menjadi susunan ekonomi, atas susunan ekonomi tersebutlah berdiri politik dan perundangan suatu Negara. Selanjutnya, Susunan Undang-undang dan Politik tersebut berpengaruh pasti pada cara pikir dan sudut pandang Manusia sebagai Masyarakat”.[44]
            Manusia yang memasuki alam sosial ekonomi suatu Zaman Masyarakat tidak bisa lepas dari Perhubungan Klas di masyarakat tersebut. Jika ia hidup di Zaman masyarakat Perbudakan, maka ia tidak bisa lepas dari perhubungan Klas Budak dan Klas Tuan. Jika ia memasuki masyarakat Feodalisme, maka ia terikat pada perhubungan; klas serves dan klas Tuan feodal. Dan seseorang yang hidup di Zaman Kapitalisme, maka ia akan terikat pula dengan perhubungan klas masyarakat Kapitalisme tersebut, yaitunya perhubungan klas Proletar dan Kapitalis (Pemodal) atau yang Berpunya dan Tak Berpunya.33
            Perhubungan satu klas dengan klas lainnya atau satu golongan dengan golongan lainnya dalam pekerjaan produksi dianggap sebagai Susunan Ekonomi. Perhubungan Budak dan Tuannya menjadi Susunan Ekonomi di Zaman Perbudakan. Perhubungan Kaum Buruh dan Kaum Bermodal dalam kegiatan produksi menjadi Susunan Ekonomi di Zaman Kapitalisme. Selanjutnya, Susunan Ekonomi tersebut dianggap mendasari bentuk Politik dan sistem Negara. Seperti pada Zaman Feodalisme, Susunan Ekonomi Feodalisme mendasari bentuk Undang-undang dan Politik dalam bernegara. Sedangkan dalam zaman Kemodalan (kapitalisme), Susunan Ekonomi Kapitalisme itulah yang mendasari sistem dan Politik Negara.34
            Disamping itu, susunan Undang-undang dan Politik dianggapnya berpengaruh pasti pada Tata Kodrat Jiwa Manusia sebagai Masyarakat". Diatas berbagai kepentingan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, didirikan superstruktur (bangunan) harapan, cara berpikir dan sudut pandang masyarakatnya. Mereka yang hidup dan bersosialisasi didalam masyarakat ekonomi Feodal, sama-sekali tidak lepas dari semangat sistem, Politik dan kebudayaan Feodalisme tersebut. Dan mereka yang hidup dan bersosialisasi didalam masyarakat ekonomi Kapitalisme, tidak luput pula dari semangat sistem, Politik dan Kebudayaan yang kapitalistis tersebut. 35
            Tan Malaka menganggap dalam perkembangan sejarah, pada suatu masyarakat akan muncul potensi kontradiksi klas akibat ketertindasan atau ketimpangan kelas yang kian hari-kian tajam,36 semakin besar ketertindasan disatu pihak, semakin besar pula revolusi yang akan timbul.37 Namun, keadaan masyarakat bukanlah faktor mutlak dan tersendiri yang menentukan perkembangan sejarah manusia, sebab disamping perhubungan klas dan faktor-faktor matter lainnya, keberadaan pikiran (faktor Ide) sebagai suatu reaksi juga dianggap menentukan perkembangan sejarah manusia. Terlihat pada karya-karyanya sering dijelaskan pentingnya “cara berpikir rasional”; logis, realistis dan fleksibel untuk kemajuan masyarakat.[45] Salah satunya dipaparkan Tan Malaka dengan thesis yang menyatakan; “pikiran, ide, atau paham manusia itu dibentuk oleh alam dan keadaan masyarakatnya, dan tidak hanya keadaan masyarakat saja yang membentuk pikiran atau ide itu, tetapi juga sebaliknya, kelak pikiran atau paham itu melantun membentuk masyarakat baru.”[46]
            Peranan ide (pikiran) terhadap proses sejarah, dapat kita lihat ketika suatu masyarakat berada pada proses perkembangan dialektika sejarahnya, yaitu saat suatu masyarakat berada pada potensi terjadinya kontradiksi antara kekuatan-kekuatan klasnya. Kontradiksi tersebut mengarah pada suatu perbuatan atau tindakan massa berupa revolusi pembaharuan yang merubah sejarah. Revolusi pembaharuan ini terjadi akibat dorongan ketimpangan klas dan faktor-faktor matter lainnya yang disertai pembentukan pikiran (idiologi) yang rasional. Dengan berpikir rasional muncul kesadaran klas dalam pikiran masyarakat tertindas untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Pertentangan klas tersebut menjadi bayangan dalam otak masyarakat kelas yang saling bertentangan tersebut, satu terjemahan dari pikiran manusia tentang kontradiksi kelas yang tengah terjadi. Pada satu pihak klas penindas berpandangan dan berpolitik untuk mempertahankan undang-undang dan tata Negara yang mereka anggap cocok dengan keamanan ekonomi dan kekuasaan mereka. Dan dilain pihak, kelas tertindas yang pada pandangannya pula, berkeinginan untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem politik dan perundangan yang dianggap telah menjadi alat menindas  dan merampas hak-hak ekonomi mereka.40        
            Tan Malaka mengingatkan adanya berbagai paham, sudut pandang dan cara berpikir yang ditanamkan secara tersistematis oleh klas klas kapitalis berkebangsaan asing terhadap pikiran masyarakat Indonesia, sehingga mereka dengan leluasa dapat mengeksploitasi kekayaan tanah air Indonesia tanpa adanya perlawanan, mengeruk laba yang besar, serta memperkuat penguasaan ekonomi mereka di Indonesia. Semua itu tentu untuk kepentingan ekonomi mereka. Sementara bangsa Indonesia yang dieksploitasi kekayaan tanah airnya, sudut pandang dan cara berpikir yang ditanamkan pihak asing tersebut tidak lebih dan tidak lain merupakan suatu pembodohan yang melemahkan, inilah yang disebut “mistifikasi”.
            Keterjajahan mengungkung bangsa Indonesia sekian lama, karna kuatnya mistifikasi yang diakukan bangsa penjajah terhadap bangsa indonesia, Mistifikasi isme dari kekuasaan penjajah itu semakin berhasil akibat pembodohan yang tersistematis dan keadaan tersebut diperparah lagi dengan adanya sikap feudal, serta cara berpikir mistik dan tahayul bangsa Indonesia yang diwariskan pengaruh Hindu.50 Secara tersistematis, Mistifikasi telah membuat generasi bangsa Indonesia bersikap pasif atas ketertindasannya dan tunduk pada eksploitasi asing yang merampas hak-hak masyarakat atas kekayaan di Tanah Air mereka sendiri.
            Berdasarkan thesis Karl Marx dalam bukunya The German Ideologi, Tan Malaka mengungkapkan “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan sosial mereka. Namun sebaliknya keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”45 Dialektika kemasyarakatan dan ide Marx yang satu arah ini, dalam Madilog 1943, lebih lanjut diterangkan Tan Malaka dengan tesis-tesis Marx lainnya, sehingga Tan Malaka sampai pada kesimpulan bahwa dialektika kemasyarakatan dan ide Karl Marx itu bukan satu arah, melainkan dua arah. Ini dianalogikan Tan Malaka sebagai sebuah bola yang dipantulkan ke lantai. "Sianak memukul bola yang melantun dengan telapak tangannya. Makin keras dia memukul, makin kuat perlantunannya.” 46
            Marx biasanya membalikkan perkara itu. Buat Marx tidak saja keadaan masyarakat menjadi alat adanya paham masyarakat, tetapi paham tadi pada satu ketika membalik mempengaruhi masyarkat.  Pada tingkat pertama memang benda menentukan pikiran, tetapi seusudahnya itu pikiran itu melantun, membalik mempengaruhi benda. Seperti pada Hegel juga pada kena-mengenanya benda dan pikiran. Cuma buat Hegel, ide, pikiran itulah yang pertama, sedangkan buat Marx adalah sebaliknya. Yang pura-pura tahu atau tida tahu perkara itu, ialah mereka yang berkepentingan buat memusuhi Marxisme.47
            Mengenai perkara perlantunan benda masyarakat dan pikiran, Tan Malaka mencoba memberi gambaran sebagai berikut:
Gedung pikiran (superstruktur)
a. Tata Kodrat Jiwa
b. Idaman Paham.
(Perbuatan)
Benda yang menjadi dasar (Basis)
Sifat Bumi dan Iklim.
Bentuk Pesawat.
Keadaan Ekonomi.
Keadaan Politik.
KETERANGAN :
4 Perkara dibawah (1,2,3,4) yang dianggap benda menjadi dasar dan dua perkara (a dan b) menjadi Gedung pikiran. Yang 4 dibawah membayang ke atas, ke pikiran lihat panah ke (1). Pikiran melantun mengenai mengubah dasar dengan Perbuatan. Lihat panah ke (2). Perbuatan ditaruh diantara Benda dan Pikiran, sebab memang perbuatan yang berhasil mesti berpadu dengan pikiran berhasil pula. Jadi perbuatanlah yang mempertalikan benda dasar dengan pikiran, yakni pada tingkat ke 2.48
            Dari uraian Tan Malaka di atas, dapat kita lihat bahwa pertalian antara basis dan gedung pikiran itu bukanlah hubungan satu arah, melainkan dua arah. Seperti yang dikatakannya, bahwa “pikiran, ide, atau paham manusia itu dibentuk oleh keadaan masyarakatnya dan tidak hanya keadaan masyarakat saja yang membentuk pikiran atau ide itu, tetapi juga sebaliknya kelak pikiran atau paham dalam masyarakat itu melantun membentuk masyarakat baru.”49 Hubungan basis dan gedung pikiran itu terhadap sejarah dipertautkan oleh perbuatan atau tindakan masyarakat yang nyata. Sedangkan perkembangan sejarah merupakan akibat dari perbuatan atau tindakan masyarakat itu sendiri, maka jelaslah bagi Tan Malaka perubahan sejarah tidak hanya ditentukan oleh dorongan faktor-faktor matter (bassis) saja, tetapi juga dengan adanya dorongan pikiran rasional atau superstruktur. Begitulah Tan Malaka menganggap perubahan sejarah ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor-faktor bersifat materi (ril) juga dengan adanya pembentukan cara pikir yang rasional.
            Lebih jelasnya, walaupun faktor perhubungan kelas produksi menjadi faktor penentu yang utama terhadap perkembangan sejarah, dan menekankan faktor-faktor matter (ril) lainnya sebagai basis penentu perkembangan sejarah, namun ia juga menekankan bahwa pikiran rasional (pembentukan mental idiologi) juga menentukan perkembangan sejarah manusia. Dan dalam teori sejarah pertentangan kelas oleh Tan Malaka, terdapat pertentangan ide (isme/paham) dalam pikiran masing-masing masyarakat kelas yang saling bertentangan tersebut, yaitu pententangan antara isme dari kelas tertindas berhadapan dengan mistifikasi isme dari kelas penindas, sebab itulah Tan Malaka menganggap perlunya alat kecerdasan atau acuan berpikir rasional bangsa Indonesia sebagai senjata untuk melawan mistifikasi klas penindas.51
            Adanya bayangan pertentangan klas dalam pikiran masyarakat pada teori pemikiran sejarah Tan Malaka, membuat ia terlihat seperti seorang idealisme dan jauh berbeda dengan seorang materialisme. Salah satunya dapat kita lihat dalam karyanya Aksi Massa 1926. Pada bab penutup Tan Malaka menyatakan bahwa berpikir secara rasional merupakan senjata yang harus dipakai masyarakat untuk mencapai kemajuan. Tan Malaka menilai, adat/tradisi dan tahayul membunuh kemauan masyarakat untuk mengadakan perubahan. Ia menuliskan bahwa imperialisme harus dihancurkan dengan senjata berpikir revolusioner proletariat Indonesia yaitu materialism-dialektis. Dengan demikian barulah Indonesi terbebas dari imperialisme. Pernyataan ini sama dengan apa yang dikemukakan Tan Malaka 15 tahun kemudian pada Madilog 1943.52 Namun, Tan Malaka tidak seperti idealis Hegel yang mengabsolutkan ide, atau mengutamakan pengaruh ide (pikiran) atas benda. Tan Malaka dalam pemikiran sejarahnya justru lebih seperti materialisme Karl-Marx yang mengutamakan pengaruh benda terhadap pikiran. Namun, seperti yang dikatakan Tan Malaka bahwa Karl Marx itu tidak mengabsolutkan pengaruh benda terhadap pikiran dan tidak meniadakan pengaruh pikiran terhadap benda. Maka Tan Malaka berkesimpulan dengan hukum dialektika perlantunan dengan mendahulukan pengaruh benda atas pikiran.
            Tan Malaka melihat tanpa adanya kecerdasan berpikir, maka kelas proletar Indonesia yang tertindas hanya bersifat pasif atas keadaan yang menimpa mereka. Mereka bersikap pasif karna telah termistifikasi oleh system penjajahan, adat dan kepercayaan lama yang membunuh kemauan mereka untuk melakukan pergerakan revolusioner.53 Berpikir rasional juga untuk mengubah sifat feodal bangsa Indonesia. Sikap feodalis telah melahirkan ententitas budak, membuat Indonesia memiliki riwayat perbudakan yang panjang. Sikap feudal merupakan sikap yang selalu ingin dihormati dan menghormati, misalnya orang yang strata sosialnya lebih tinggi mengharapkan agar manusia yang ada dibawahnya bersikap patuh, takut, tunduk, hormat dan merendahkan diri padanya. Begitu juga orang yang strata sosialnya dibawah, mereka dengan sifat feodalnya dengan senang hati mengabdikan diri pada yang di atasnya. Ini yang menurut Tan Malaka melahirkan sikap budak. Ententitas budak ini kemudian melembaga menjadi fatalitas yang akut.54
            Adanya ententitas budak ditambah lagi dengan adanya sikap mistik sebagai warisan budaya dan tradisi masa lampau, bangsa Indonesia menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok asing.55 Sikap feudal dan mistik ini menurut Tan Malaka harus di tinggalkan bangsa Indonesia, karna sikap tersebut membuat bangsa Indonesia mengalami riwayat perbudakan bangsa asing, sehingga perkembangan sejarah masyarakat Indonesia tidak tumbuh dengan semestinya. Untuk itulah pembentukan cara pikir yang rasional dianggap Tan Malaka dapat merubah sikap feudal dan mistik masyarakat Indonesia tersebut. 41 Untuk itulah Tan Malaka menganggap perlu adanya suatu buku sebagai acuan kaum Proletar tertindas untuk berpikir rasional sebagai anti-thesis dari mistifikasi kapitalisme dan sikap feodal bangsa Indonesia. Cara berpikir rasional itu dalam buku Aksi Massa (1926) dituliskan Tan Malaka sebagai materialisme dialektis, yang 15 tahun kemudian hari dituangkan Tan Malaka dalam sebuah buku yang diberi judul Madilog (1943).           
            Untuk menuju masyarakat sosialis dan merdeka, revolusi dirumuskan Tan Malaka dalam perjuangan kelas proletar bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari kelas kapitalis bangsa penjajah.56 Revousi kaum borjuis tak bisa diharapkan terjadi di Indonesia, karna kaum borjuis islam bumi putra Indonesia telah dilenyapkan terlebih dahulu oleh belanda saat berusaha menguasai Indonesia. Kelas kapitalis (kaum bermodal) yang ada di Indonesia adalah kapitalis Internasional dari bangsa asing. Pertumbuhan Industri dilihat Tan Malaka hanya menguntungkan bangsa asing, karna kaum capital/pemodal-nya dari bangsa asing, bukan dari bangsa Indonesia sendiri. Maka revolusi massa proletar dianggap sebagai cara merebut kemerdekaan dari kapitalisme-imperialis asing, serta menghancurkan sisa-sisa feodalisme.57
D.   POLA DAN TAHAP PERKEMBANGAN SEJARAH MANUSIA
            Herbert Marcuse, menggambarkan perkembangan masyarakat modern sebagai suatu “proyek gagal” atas kebuntuan sejarah manusia. Tan Malaka menilai sejarah kemasyarakatan sebagai sesuatu yang alami dan berproses yang mengarah pada suatu tujuan zaman idealnya,59 Namun, pada karya Parlemen atau Soviet, Tan Malaka juga mengatakan bahwa dalam proses sejarah klas juga terjadi pasang surut. Hukum stadia Auguste Comte menggambarkan sejarah manusia dalam tiga tahap perkembangan cara pikir masyarakat. Sedangkan Karl Marx menggambarkan sejarah sebagai suatu pola lurus tunggal yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu yang dapat diketahui sebelumnya. Spengler dan Toynbee telah mengemukakan sejarah sebagai perkembangan sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali. 60
            Penulisan pemikiran Tan Malaka mengenai perkembangan sejarah manusia, dapat kita temukan pada buku yang berjudul, “TAN MALAKA: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis.” Penulisnya, Syaifudin menyatakan pembahasan buku tersebut berusaha melepas diri dari dominasi pembahasan sejarah yang umumnya ditemukan pada buku-buku yang membahas Tan Malaka.[47] Pada buku tersebut tipologi perkembangan sejarah kemasyarakatan Tan Malaka sebagai dualisme pemikiran Karl Marx dan Auguste Comte, seperti  pada gambbar berikut ini.
         Penelitian mengenai pemikiran sejarah Tan Malaka ini, membawa penulis pada hasil analisa dan keterangan yang berbeda dengan apa yang ada pada gambar di atas. Menafsirkan tipologi perkembangan masyarakat Tan Malaka sebagai dualisme dari pemikiran Marx dan Comte, sama sekali bertentangan dengan teori-teori pemikiran sejarah Tan Malaka, terutama dari hasil telisik karya Madilog dan beberapa keterangan dalam karya Aksi Massa. Hukum stadia Comte menggambarkan sejarah manusia dalam tiga tahap perkembangan cara pikir masyarakat atau stadium rasio. Sistem lembaga-lembaga dianggap terbentuk mengikuti perkembangan cara pikir masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan Tan Malaka yang pada dasarnya menganggap bentuk sejarah menusia berupa tahapan-tahapan zaman sistem kekuatan klas yang terbentuk sebagai akibat terjadinya pertarungan klas dimasyarakat. Sistem kekuatan klas dalam suatu zaman akan dirombak secara revolusioner oleh suatu klas yang kontradiktif, sehingga membentuk zaman sistem kekuatan klas baru yang akan terus mengalami proses perubahan-perubahan hingga mencapai bentuk zaman idealnya. Dalam pemikiran perkembangan sejarah Tan Malaka, level awal dari sejarah manusia adalah masyarakat komunal, bukan masyarakat teologis seperti gambar diatas.
            Secara garis besarnya, tahap perkembangan sejarah manusia menurut Tan Malaka adalah masyarakat komunal, masyarakat perbudakan (slaveri), masyarakat feudal, masyarakat kapitalis, masyarakat sosialis, dan masyarakat Federasi Sosialis. Yaitu seperti gambar berikut ini:

 
Namun menurut Tan Malaka, perkembangan sejarah di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya, karna Indonesia dalam kesejarahannya terus-menerus menjadi bulan-bulanan intervensi bangsa asing. Maka, dilihat dari penjelasan-penjelasan sejarah dari karya-karya Tan Malaka, proses sejarah Indonesia adalah; Masyarakat Komunal (ikatan Suku), masyarakat Semi Slaveri (Ikatan Adat), Masyarakat Feodalis (Monarki), Masyarakat semi Kapitalisme (Semi-Imperialisme Hindia Timur), Masyarakat Kapitalis Muda (Imperialis-kolonialisme), Masyarakat Sosialis (Nasionalisme Indonesia Sempit), Masyarakat Federasi Sosialis (Aslia Nation). Seperti gambar berikut:
1)               Masyarakat Komunal (Ikatan Suku)
Tan Malaka meletakan zaman komunal (kelompok suku) sebagai level awal perkembangan sejarah manusia. Pada karyanya, Pandangan Hidup, munculnya Zaman awal sejarah manusia dijelaskan Tan Malaka sebagai akibat adanya relasi dialektis antara alam dan manusia, alam memberi kontribusi tekanan pada manusia untuk membentuk dan mengembangkan suatu kemasyarakatan guna keberlangsungan hidup mereka. Kebertahanan inilah yang kemudian berekspansi menjadi kebudayaan yang tersistematis. Bentuk sistem kemasyarakatan pertama tersebutlah dianggap sebagai Zaman awal Sejarah Manusia. Dalam Madilog, penjelasan Tan Malaka mengacu pada asal masyarakat Indonesia Asli yang datang dari gurun pasir Mongolia, akhirnya sebagian dari mereka menetap dikepulauan Indonesia sekarang, mereka hidup dalam ikatan suku dan secara garis besarnya kepercayaan yang mereka anut adalah animisme.[48] Bagi Tan Malaka, sejarah benda lantai itu (sejarah masyarakat, ekonomi, politik) membayang pada kepercayaan yang ada, dan kepercayaan animisme itu dikatakan Tan Malaka cocok untuk masyarakat berkeluarga (berkelompok/komunal).[49]
Bangsa Indonesia asli itu meninggalkan gurun pasir Mongolia menuju ke arah Selatan sampai ke Tibet dan Yunan melalui pegunungan yang tinggi dan lembah yang curam, mereka lambat laun sampai kebarisan gunung dibatas Birma dan Annam. Jalan biasa yang mereka lalui adalah sungai Salweetn, Irawadi, Menam, dan Mekong. Setelah melakukan perjalanan jauh, sampailah mereka ke Semenanjung Tanah Malaka. Akhirnya dari sini mereka berhamburan ke kepulauan Indonesia sekarang, ke Magadaskar disebelah barat dan Amerika di Timur. Perantauan jauh yang penuh marabahaya alam itu dilakukan dalam abad yang belum mengetahui ilmu bukti dan tehnik kemesinan. [50]
Masyarakat pada masa itu, seluas-luasnya cuma tahu suku yang dikepalai Datuk (kepala suku). Datuk ini bukanlah raja melainkan pemimpin yang dicintai, karena ia terpilih diantara sanak saudara sendiri. Pengikutnya bukanlah hamba (budak) atau rakyat, melainkan isteri, saudara, anak dan keponakannya sendiri. Perhubungan pemimpin dengan yang dipimpin ialah perhubungan bapak dan anaknya, atau nenek dan cucunya. [51] Kepercayaan kejiwaan (Animisme) dalam garis besarnya di seluruh dunia cocok dengan Masyarakat berkeluarga (komunal), Politik dipegang oleh Bapak, Mamak atau Nenek. Pesawat ialah perkakas yang dijalankan dengan tangan atau kodrat alam yang bersedia seperti angin dan air.[52] Artinya untuk bertahan hidup di tengah tekanan ganasnya alam menuntut manusia-manusia tersebut untuk hidup “berkelompok-kelompok” atau komune.
Tan Malaka mengatakan pada permulaan sekali dari sejarah manusia sudah terjadi division of Labour itu, yakni antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Yang pertama kerjanya berburu atau menangkap ikan. Yang dibelakang tinggal di rumah melakukan pekerjaan rumah, memasak, bertenun, menjahit, mencuci, menjaga anak dan lain-lain. Pekerjaan yang pertama adalah lebih berat dan berbahaya dari yang kedua. Walaupun banyak diantara kaum ibu yang berani, tetapi ada temponya tiap-tiap ibu dalam kelemahan sendiri, ialah dalam keadaan mengandung dan menjaga si anak yang lemah.[53]
Kepercayaan masyarakat Indonesia Asli yang menurut Tan Malaka memiliki tiga ciri yaitu animisme dinamisme dan daemonologi. Tan Malaka memberi penghargaan pada kepercayaan tersebut karna merupakan dasar cara berpikir yang dilandaskan materi.  kepercayaan itu dapat diterima dengan cara berpikir madilog-nya. Tan Malaka menolak jika kepercayaan tersebut dianggap fiktif atau tidak dapat diterima secara intelektual seperti pada konteks teologis Comte. Kepercayaan ini jelas didasarkan materi. Suatu kekurangan dalam pengetahuan dan tehnik membuat orang melihat matter sebagai bayangan yang dilemparkan keluar oleh kepercayaan dan tidak sebaliknya. Dalam pandangan madilog, posisi matter tersembunyi pada kekuatan-kekuatan masing-masing kepercayaan ini.[54] Menurut Tan Malaka hal ini sesungguhnya dekat sekali pada ikatan matter dan energy, yang diterima dalam cara pikir madilog. Tan Malaka mengatakan:
Kalau dipandang dari penjuru Ilmu Bukti dan ilmu alam (Science dan Experiment) saya berani bilang, bahwa kepercayaan asli, dari bangsa Indonesia asli itu sedikitnya sama tinggi, saya bilang terus-terang sama tinggi, karena ada diantaranya yang bisa diuji dan sedikitnya tak bisa dilemparkan begitu saja…
Kesalahan kepercayaan Indonesia asli, berhubung dengan dynamis tadi, ialah kodrat terkhsuus dari benda atau hewan dan manusia dijadikan kodrat raya. Sifat atau undang terkhusus dijadikan sifat atau undang umum. Jadi dalam kepercayaan pada kodrat semua benda ini, mereka memperlihatkan kesederhanaan (pikiran primitive).[55]  
Tan Malaka mengatakan bahwa sebetulnya penamaan kepulauan India, yang diringkaskan dengan kata Indonesia, tidak benar dan terlalu sempit bila dilihat dari ilmu sejarah bumi serta ilmu kebangsaan (Race Theory) dan kebudayaan (kultur/kepercayaan). Kesalahan nama Indonesia itu menurutnya berasal dari pandangan ahli barat yang mencari rempah-rempah dulunya. Kesalahan itu diterima oleh sebagian dari bangsa Indonesia, yang menganggap India itu negara aslinya bangsa Indonesia Asli, karena dongeng (bukan sejarah) seperti adat dan kesenian Indonesia yang dipengaruhi Hinduisme mengatakan begitu, yang oleh Rakyat Indonesia lambat-laun diterima sebagai sejarahnya sendiri. Mereka, lupa atau tak tahu, bahwa walaupun kebudayaannya berasal sebagian besar dari Hinduisme, tetapi Jasmaninya sebagian besar berasal dari Mongolia dan Tibet.[56]
Pada jaman purbakala kepulauan Indonesia sekarang bersatu dengan Birma, Siam dan Annam di Utara serta Australia di Selatan. Dalam ilmu sejarah bumi, Birma dan India adalah dua bagian bumi yang berlainan bentuk dan hawa. Keduanya dipisahkan oleh barisan gunung yang dahulu kala memustahilkan perhubungan Birma dan India dahulunya, perhubungan hanya melalui lautan. Pada zaman dahulu kala dengan jalan darat, Jawa dekat dari Birma. Dan menurut Ilmu Kebangsaan, yang berdasarkan atas ukuran seperti tingginya badan, bentuk kepala dan muka, warnanya kulit, mata, dan rambut, penduduk Birma, Siam dan Annam 100 % sama dengan penduduk Indonesia dan hampir 100 % berlainan dengan penduduk India. Demikian juga akhirnya kepercayaan asli penduduk Birma, Siam dan Annam. Kerpecayaan penduduk asli Assam, bangsa Naga, Laos dan sebagainya berlainan dengan Hinduisme dan sama 100 % dengan kepercayaan Indonesia Asli umumnya serta dengan penduduk Indonesia sekarang seperti Dayak, Toraja dan sebagainya.[57]
Nama Indoneia itu pincang dan sempit. Pincang, karena kepulauan Indonesia pernah bersatu dengan Asia Selatan, tetapi tidak bersamaan dengan India. Nama yang lebih cocok ialah kepualuan Asia-Australia bersatu dan baikpun menurut Ilmu Bumi dan Ilmu Bangsa. Bagian bumi Birma, Siam, Annam dan Semenanjung Tanah Malaka, yang semuanya termasuk benua Asia Selatan dan Kepulauan Indonesia sekarang serta Australia Utara yang banyak mengandung persamaan dengan kepulauaun Indonesia, dinamai oleh Tan Malaka dengan sebutan Aslia, ialah kependekan dari Asia-Australia. Sedangkan Indonesia sekarang disebut Tan Malaka sebagai Kepulauan Aslia.[58]

2)               Masyarakat Semi Slaveri (Ikatan Adat)
Dalam pengembaraan bertahun-tahun, barangkali beratus tahun itu banyak timbul persoalan baru, pertarungan baru (perang suku) yang menuntut peraturan baru. Timbullah aturan dan adat istiadat yang dibentuk oleh datuk yang memenangkan pertarungan. Datuk tersebut akan menerima kehormatan, pujian dan cinta pengikutnya.[59] Hal ini menunjukkan adanya penguasaan oleh suku yang menang berperang terhadap suku-suku yang dikalahkan. Penguasaan itu melalui ikatan adat yang dibentuk oleh kepala suku yang memenangkan perperangan. Namun, penulis tidak menemukan sama sekali bahwa Tan Malaka mengatakan perkembangan ini beranjut pada masyarakat perbudakan, ia tidak seperti yang diakukan bangsa Arya terhadap Bangsa Dravida di India. Tan Malaka hanya mengatakan sang kepala suku itu akhirnya mendapatkan kehormatan, pujian dan cinta dari pengikut-pengikutnya.
Namun ada kemungkinan datangnya bangsa Indonesia Asli dari Mongolia telah mengalahkan penduduk negrito yang ada di Indonesia. Berdasarkan adanya perang suku yang dimenangkan suatu suku dan adanya ikatan adat sebagai suatu hukum yang dibentuk kepala suku yang memenangkan pertarungan, maka penulis menyimpukan tahap ini adalah masyarakat semi perbudakan.

3)               Masyarakat Feodal (Monarki Feodal)
Perkembangan dari masyarakat ke tahap feudal dikatakan Tan Malaka terjadi bukan karna percaturan hidup bangsa Indonesia sendiri (melawan atau antara kelas-kelas), tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar. Pengaruh hinduisme telah dapat menciptakan masyarakat feudal di Indonesia. Animisme kesukuan, didesak oleh agama Hindu dan Budha. Bangsa itu mengajarkan pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Masyarakat komunal kesukuan berubah menjadi masyarakat feudal, keningratan di pegang oleh raja-raja feudal. Namun peradaban ini masih jauh terbelakang dari peradaban Yunani yang mengenal ahli-ahli sejarah dan orang-orang berilmu pengetahuan tinggi. [60]
Tan Malaka mengatakan bahwa sesudah dibawah pengaruh Hindu, kebudayaan bangsa Indonesia bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian itu berlangsung sesudah bangsa Indonesia bercampur darah dengan penjajah-penjajah Asing. Tan Malaka mengatakan hanya sistem matriakhat minangkabau yang dapat berfungsi sebagai demokrasi di Indonesia.[61]
Dengan perdagangan, berdirilah kota-kota pelabuhan di Majapahit dan muncullah suatu kelas menengah yang kemudian hari menuntut perubahan-perubahan politik sosial dan budaya dari raja-raja feudal. Kedatangan pengaruh islam dan imigrasi cina memunculkan gerakan borjuis Islam bumi putra yang menentang politik dan ekonomi raja-raja feudal masa itu.[62] Namun perkembangan ini terhenti ketika Belanda datang ke Indonesia, bibit-bibit kapitallis bumi putra Indonesia dalam perjuangan borjuasi islam dihancurkan oleh Belanda. Belanda akhirnya berkuasa dengan menggunakan jalan politik yang licik.[63]

4)               Masyarakat Semi Kapitalis (Semi Imperialis/Hindia-Timur).
Tan Malaka mengatakan masa transisi dari masyarakat feudal ke masyarakat kapital bermula dari berkembangnya perindustrian di Majapahit. Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik, genteng dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal-kapalnya berlayar sampai ke Persia dan Tiongkok. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya mereka adalah bangsa asing atau yang sudah bercampur darah dengan orang-orang Jawa.[64]
Banyak bangsa yang datang dan menetap di Pulau Jawa, dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit, bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka tinggal.”[65]
Penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan feodal di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintah, timbulah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan pemerintahan. Namun Tan Malaka menyatakan dalang dari semua itu adalah kepentingan bangsa asing.[66]
Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu, bumiputra bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.[67]
Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir itu berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat. Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing. Dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.[68]
Masa Transisi ini berlanjut tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, Tan Malaka mengatakan bahwa waktu itu negeri Belanda hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil, atau hanya sebagai negeri tani dan saudagar. Belanda tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia. Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, kekayaan Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang tersisa.[69]
Berbeda dengan Kompeni-Hindia Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau setidak-tidaknya terus tinggal menjadi  penduduk bumi putra, tetapi bangsa Belanda datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan membawa kekayaan indonesia. Akibatnya, hancur dan keringlah ekonomi bangsa Indonesia.[70] Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari![71]
Melihat adanya pertentangan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, Belanda mempergunakan jalan politik devide et impera, memecah-belah dan menguasai, wiayah-wiayah Indonesia. Belanda membantu salah satu diantara kerajaan yang bertikai, lalu berangsur-angsur menguasai semuanya. Begitulah cara Belanda masuk ke Indonesia digambarkan Tan Malaka. Yaitu dengan mengadu domba dan memanfaatkan pertikaian perang saudara yang terjadi di Indonesia. Dan gerakan-gerakan borjuasi islam terus dihancurkan oleh Belanda. Kedatangan Belanda telah mengakibatkan perkembangan kaum modal (borjuis) bumi putra mengalami kemunduran dan tidak ada perkembangan sama sekali. Masa transisi feudal menuju Kapitalisme digambarkan Tan Malaka berakhir dalam perang Diponegoro seperti pada kutipan berikut:
…Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di Bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan bumi putra, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.[72]
Perang Diponegoro digambarkan Tan Malaka sebagai Perjuangan kesatria dengan niat sanubari yang suci, namun ia tidak memiliki program politik dan ekonomi yang jelas, ia diibaratkan Tan Malaka sedang "menolong perahu yang bocor", yaitu kelas Feodal yang akan lenyap. Oleh karena itu ia disebut Tan Malaka kontra-revolusioner karna ia bukan perjuangan kelas borjuis bumi putra (kapitalis-nasional) yang jelas menentang feodalisme Mataram dan kapital-imperialistis Belanda dengan menghidupkan kapital nasional Indonesia. Dan Tan Malaka mengatakan bahwa borjuasi yang berbau ke-Islaman dalam lapangan ekonomi justru telah lebih dahulu dihancurkan oleh Kapitalis-Imperialistis Belanda. [73]
Tan Malaka mengatakan, seandainya saja Pulau Jawa waktu itu mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner dan Diponegoro itu berdiri sebagai borjuasi bumi putra yang memiiki paham kebangsaan atau kapitalis-nasional, maka perjuangannya melawan Mataram (Feodal) dan Kompeni Belanda (kapitalis-imperialis) dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi semua itu tidak ada, akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun yang mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah (Feodal), baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat (kapitalis-Imperialis).[74]
Hal diatas telah menunjukkan bahwa dengan masuknya pengaruh islam dan percampuran bangsa asing (kompeni Hindia-Timur) dengan kaum bumi putra telah memunculkan gerakan borjuis di Indonesia, namun perkembangannya terhenti karna masuknya kompeni Belanda ke Indonesia. Pada uraian tahap masyarakat berikutnya akan dijelaskan bentuk kapitalisme di Indonesia. Kapitalis Indonesia bukanlah kapitalis-nasional, karna bibit-bibit tumbuhnya kapitalis-Nasional Indonesia telah dibunuh oleh Belanda. Kelas borjuasi (pemilik modal) yang ada di Indonesia hanyalah bangsa-bangsa barat yang berinfestasi di Indonesia. Karna itulah Tan Malaka menganggap satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern. Yaitu kelas proletaris revolusioner yang berjuang merebut kemerdekaan melalui revolusi konfrontasi. Mengharapkan revolusi kaum borjuis nasional tidaklah mungkin karna kaum borjuis atau kapitalis (pemodal) bumi putra itu telah hancur, kaum modal yang berkuasa adalah kelas modal kapitalis Internasional. Perjuangan diplomasi dianggap Tan Malaka tidak mungkin dilakukan, karna hanya akan memperkuat kapitalis Internasional.

5)               Masyarakat Kapitalis Muda (Imperialis-Kolonialisme).
Tan Malaka mengatakan Kapitalisme di Indonesia tidak tumbuh dengan semestinya. Ia tidak sama dengan kapitalisme di Eropa dan Amerika Utara, kapitalisme di Eropa dan Amerika tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri. Cara produksi mereka yang tua berturut-turut digantikan oleh yang muda. Kapitalisme Eropa dan Amerika Utara adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan kearah kemajuan itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.[75] Sedangkan kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Kapitalisme Indonesia hanyalah perkakas Imperialis asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang melalui kekerasan menghancurkan sistem produksi kapitalis bumi putra Indonesia sendiri.[76]
Sebagian besar bangsa Indonesia digambarkan Tan Malaka adalah kelas proletaris, yaitu buruh dan tani yang diperbudak asing, [77] sedangkan kelas pemilik modal atau borjuis Indonesia justru telah diperlemah dan dihancurkan penguasa kolonial Hindia-Belanda. Politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi cultur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai teknologi, tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam. Maka kapital Indonesia akan tumbuh dengan teratur pula antara lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu kecil tentu akan menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu kecil tentu akan menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.[78]
Tan Malaka mengatakan, kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang mengeluarkan barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain. Jadi dalam pemandangan ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota. Barang-barang kota yang berlebih yakni barang itu dipandang penduduk kota sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih itu. Begitulah gambaran yang digambarkan Tan Malaka tentang perkembangan kapitalisme di Amerika pada tahun 1913, perbandingan antara barang-barang industri dengan pertanian, harga pasar antara kedua barang itu hampir sama. [79]
Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota Indonesia tidak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, ia tidak pula dari kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis. Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk mereka sendiri pun tak mencukupi, beras justru didatangkan dari luar, meskipun bangsa Indonesia umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan berasnya yang berebih. Desa-desa di Indonesia mengeluarkan gula, karet, teh, dan lain-lain barang perdagangan yang hanya mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan memelaratkan kaum tarsi. Kota-kota di Indonesia tidak menjadi pusat ekonomi bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.[80]
Tan Malaka menegaskan bahwa kapitalisme Indonesia itu adaah kapitalisme Internasional, bukan kapitalisme nasional karna pemilik modal Industrinya bukan kelas borjuis bumi putra, melainkan investor dari bangsa asing. Disamping itu, perindustrian belanda juga kurang di Indonesia karna akibat dari tindakan Belanda itu sendiri. Kapital Inggris justru mendapat peranan besar di Indonesia. Tan Malaka mengatakan, “Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah perang dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan semua wilayah koloni Indonesia pada Belanda.” Tan Malaka menilai perbuatan Inggris itu adalah politik Inggris yang selicin-licinnya, karna Tan Malaka melihat perbuatan inggris tersebut sangat bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai oleh Inggris, dan semurah-murahnya Inggris telah menjadikan Belanda sebagai alat opas untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia. Tan Malaka menuliskan sebuah pertanyaan, “Apakah pengambil alihan seluruh administrasi (oleh Belanda) yang ada di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada Inggris?”[81]
Kapital (investasi modal/industri) Inggris yang dalam beberapa tahun makin besar di Indonesia, hal itu sangat mengkhawatirkan bagi Belanda, disamping bangsa Indonesia sudah tak sabar lagi (Indonesia ini digambarkan Tan Malaka seperti Kerbau yang ditendang Belanda dan kerbau itu akhirnya mulai memperihatkan tanduknya pada belanda), hingga Belanda berniat memakai "politik pintu terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil Tan Malaka dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: "Dan terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga dari tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis. Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam di Indonesia dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda".[82]
Uang dan susah payah tak diperhitungkan Belanda demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah berkata terus terang di dalam kamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun 1923, dan kedatangan beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah yang selama bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland). Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis Amerika supaya datang berduyun-duyun berinvestasi ke Indonesia.[83]
Begitulah kiranya dalam sejarah, video-video dokumenter yang dulunya dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, tentang buruh-buruh perkebunan, keindahan-keindahan alam Indonesia, dan lain sebagainya, semua itu dibuat oleh Belanda tidak lain dengan tujuan untuk menarik infestasi asing ke Indonesia atau menanamkan kapitalis asing di Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka adalah untuk menyaingi kapitalis Inggris yang semakin besar di Indonesia dan melemahkan bangsa Indonesia yang mulai memperlihatkan tanduknya.
Menurut Tan Malaka kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan (25 tahun sebelum ditulisnya buku Aksi Massa 1926) baru dimulai industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah. Industri Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera, Borneo (kalimantan), Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan sudah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba raya.[84]

6)               Masyarakat Sosialistis (Nasionalisme Indonesia Sempit)
Tahap seanjutnya adalah Masyarakat Sosialis Merdeka, ini sesuai dengan garis perjuangan Tan Malaka, yaitu perjuangan revolusi kelas proletariat melaui konfrontasi menuju Indonesia yang merdeka dan sosialis. Tan Malaka menganggap perjuangan diplomasi sama sekali tidaklah bisa diharapkan, karena kelas borjuis kapitalis bumi putra yang hanya sebagian kecil saja telah lemah, sementara kelas borjuis yang berkuasa atas ekonomi adalah bangsa kapitalis Internasional dan sebagian besar bangsa Indonesia adalah kelas proletar, yaitu buruh dan tani. Maka dari itu garis perjuangan Tan Malaka adalah perjuangan kelas proletariat bangsa Indonesia yang terjajah melawan kelas borjuis Imperialis-kapitalis bangsa asing. Melalui itulah akan tercipta Negara Indonesia yang merdeka dan sosialistis.
Tan Malaka mengatakan bahwa revolusi Indonesia akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata seperti yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan Filipina, yaitu borjuasi bumiputra merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan parlemen) karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak daripada di Indonesia. Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.[85]
Pati revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng politik, terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju tak pungguh hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan memperoleh kemenangan itu pun di belakang sekali. Pun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu "tidak" dan jangan diharap). Revolusi Indonesia yang memperoleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang tepat dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis menghadapi krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang peran yang terpenting.[86]

7)               Masyarakat Federasi Sosialis (Nasionalisme Aslia).
Dalam karya Madilog-nya 1943, Tan Malaka mengusulkan tujuan sejarah di masa depan yaitu Indonesia yang merdeka dan sosialistis. Rakyat Indonesia Asli, yang dulu terdapat di seluruh Asia Tenggara akan bersatu kembali pada masyarakat Indonesia yang sosialistis. Yaitu, suatu federasi yang mempersatukan Filipina, Muangthai, Birma, Malaka, Indonesia sempit dan Australia daerah tropis, dibawah nama Federasi Aslia[87] dan 15 tahun sebelumnya didalam buku Aksi Massa tahun 1926, ini dituliskan Tan Malaka dengan sebutan FRI (Federasi Republik Indonesia).[88]
Tan Malaka menekankan pentingnya Sumatra untuk masa depan. pada masa lampau Sumatra paling maju dalam hal ekonomi dan kebudayaan. Mengenai kebudayaan, Jawa telah mengambil alih obornya tetapi inipun akan kembali lagi pada Sumatra, ke poros Bonjol Malaka.[89] Tetapi di sini pun Tan Malaka setia pada asal keturunannya. Dalam fasafah Minangkabau, alam Minangkabau merupakan pusat dunia dan di sekitarnya adalah daerah rantau. Pusat Aslia, pusat perkembangan teknologi yang dianggap begitu penting oleh Tan Malaka, terbentuk oleh poros Bonjol-Malaka. Terpilihnya Bonjol sebagai titik akhir poros itu memperkuat kaitannya dengan nilai-nilai Minangkabau. Jadi, cara berfikir Tan Malaka masih tetap bertolak dari alam Minangkabau sebagai titik sentral dan dari dinamisme dalam hubungan alam-rantau. Nasionalisme-Indonesianya atau nasiomalisme-Aslianya tetap mengandung nada ini. Dalam Madilog, disebutkannya berulang kali superioritas Sumatera pada masa lampau dan masa depan. Dalam bab penutupnya hal ini dapat di tunjukkan beberapa kali. Dalam hal ekonomi dan kebudayaan Jawa harus tunduk pada Sumatera.

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
…….
DAFTAR PUSTAKA
Tan Malaka,  1951. MADILOG, Tan Malaka 1943. Jakarta: Widjaya (Merupakan file pdf. Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague, dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007).
Tan Malaka, 2000. AKSI MASSA. Tan Malaka 1926. Jakarta: Teplok Press. (Merupakan file pdf, dimuat ke HTML Oleh Ted Crawford dan Ted Sprague).
Poeze, Harry A, 1999. Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945. Jakarta: Grafiti.
Nasir Zulhasril, 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Yogyakarta: Ombak.
Saifudin, 2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Susilo, Taufik Adi, 2008.Tan Malaka Biografi Singkat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Abdurrahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta; Yayasan Bentang Budaya.
Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi, Jakarta: Gramedia.
Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara, Jilid III (TePLOK PRESS, 2000).
Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy (Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962).


[1]Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. viii-ix
[2]Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. XII
[3] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 10
[4] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 70-74
[5] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 273
[6]Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) hlm 10-11
[7] Syaifudin , “Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm76-77
[8] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 71
[9] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 70-74
[10]Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 76
[11] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xxiii-xxviii
[12] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123
[14] Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 139-140.
[15] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 106-108
[16] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 107-108.
[17] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 108
36 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6.
37 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6-7.
[18] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm 292
[19] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 101-104
[20]  Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm.
[21]  Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page.
[22]   Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 106
[23] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 21.
[24] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 122
[25] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253-254.
[26] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 274-275.
[27] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 293
[28] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 56.
[29] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 257-258.
[30]  Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999).
[31] Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm. 6.
[32] Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura, (Yogyakarta, Ombak, 2007).
[33] Taufik Adi Susilo, Tan Malaka Biografi Singkat. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
[34] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 201
[35] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 201-202
[36] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 202-203
[37] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 204
1 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 49
2 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 53
3 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. viii
4 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 9
5 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 54
6 Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara: Jilid 1 (Jakarta LPPM Tan Malaka, 2007), hlm.21
7 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 14
9 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 27
10 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 27
11 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 57
12 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 28
13 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 57-58
14 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiii
15 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 58-59
16 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiii
19 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XV
18 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xiv
20 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 59
21 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 59-60
22 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 35
24 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII
25 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII
29 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) hlm 10-11
30 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 273
27 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 60.
31 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm.  41-42
28 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 61.
33 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. XVIII-XX
32 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm.  43-44
34 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 44
35 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 45-46
39 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 47.
36 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 71
37 Muhammad Yamin, Tan Malaka: Bapak Republiek Indonesia, (Jakarta: Yayasan Massa, 1990), hlm. 28-29.
38 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 3-4.
40 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 61.
41 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 12
42 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 47-48.
43 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 38-45
44 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 45-46
45 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 75-77.
46 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm. 49
47 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 99-100
48 Syaifudin , Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 63
49 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm.50
51 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 271-272.
52 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm . 274.
54 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 276-277.
55 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 304-308.
56 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 76
57 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. xxiii-xxviii
58 Tim Buku Tempo, Pokok-pokok Ajaran Tan Malaka: Murbaisme (Jakarta: Partai Murba, 1960), hal. 2
59 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 77
5 Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) , page. 185
10 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 92
11 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm. 106.
12 Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara, Jilid III (TePLOK PRESS, 2000), hlm. 32
13 Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy (Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962), hlm. 361.
14 Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and The End of Classical German Philosophy (Moskow. Foreign Languages Publishing House, 1962), hlm. 373.
15 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 94-95.
16 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 95.
18 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm . 96
19 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 96.
20 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 97.
21 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 98.
22 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 97.
4 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 100
60 Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura,(Yogyakarta, Ombak, 2007), Hlm.
23  Tan Malaka, Madilog pdf (Jakarta: Wijdaya 1951) hlm.
7 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 291-292.
8 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 281.
9 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 291.
24 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 259.
[38] Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123
[41] Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 139-140.
[42] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 107-108.
[43] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 108
[44] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 106-108
33 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page.106-107.
34 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 107.
35 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page.107
36 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6.
37 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 6-7.
[45] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm 292
[46] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page 101-104
40 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page.  108
50 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 140-141.
45 Karl Marx and Friederich Engels, The German Ideologi (New York: Internasional Publlisher, 1947), hlm. 12-14.
46 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951) page. 101.
47 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 97-98
48 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 100.
49 Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951), page. 101-104.
51 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 89-90.
52 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 294-295.
53 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 90.
54 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 108.
55 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 31.
41 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm 41
56 Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm.
57 Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 3-5.
59 Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 156.
60 Taufik Abdulloh dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 123-124.
[47] Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang sosialistis, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 6.
[48] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253-254.
[49] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 274-275.
[50]Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253
[51]Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253-254.
[52]Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 275.
[53] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 122.
[54] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 251.
[55] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 250.
[56] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 247-248.
[57] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 247-248.
[58] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 247-248.
[59] Tan Malaka, Madilog pdf  (Jakarta: Wijdaya 1951)  page. 253.
[60] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm 9.
[61] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 9.
[62] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10.
[63] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 11.
[64] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10.
[65] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10.
[66] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10.
[67] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10.
[68] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 10-11.
[69] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm.  17-18.
[70] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 18.
[71] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 11.
[72] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 11.
[73] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 12.
[74] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 12.
[75] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 20,
[76] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm.20.
[77] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 3-5.
[78] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 21.
[79] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 20.
[80] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 20.
[81] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 21.
[82] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 21-22.
[83] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 22.
[84] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 19.
[85] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 40.
[86] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 40.
[87] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 293
[88] Tan Malaka, Aksi Massa pdf  (Teplok Press, 2000), hlm. 56.
[89] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik 1925-1945, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 290.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar